Para ulama dari Abad Pertengahan punya tamsil yang asyik untuk menjelaskan hubungan antara para ahli hadis dengan para ahli fikih. Para ahli hadis, kata mereka, adalah seperti apoteker sementara para ahli fikih adalah dokternya.
Apoteker, kita tahu, hafal betul segala jenis obat-obatan dan bahan-bahannya. Ia bisa membikin segala macam jenis obat untuk segala macam penyakit, asal berdasarkan resep yang diberikan oleh dokter. Ia tidak berwenang memeriksa dan mendiagnosis penyakit pasien. Itu wewenang dokter. Tapi ia bisa menyembuhkan penyakit pasien, sekali lagi, dengan membikin obat yang diresepkan oleh dokter.
Ahli hadis juga begitu. Ia menyediakan kepada para ahli fikih hadis-hadis tentang subjek apa saja yang bisa cuma bisa ditangani oleh para ahli fikih. Karena keahlian mereka dalam melakukan penalaran hukum, para ahli fikih bisa menggali ketentuan hukum dari hadis-hadis (dan ayat tentu saja) yang dihimpun oleh para ahli hadis. 'Resep' yang mereka keluarkan adalah fatwa: melakukan ini haram, melakukan itu dianjurkan, dst.
Karena kompentensi ahli hadis adalah menghimpun 'bahan mentah' fikih, bila ia tidak melengkapi dirinya dengan ilmu lain yang dibutuhkan untuk menafsirkan teks-teks Quran atau hadis, seperti ilmu tafsir dan usul fikih, ia tidak berwenang untuk mengeluarkan fatwa seperti ahli fikih, tak ubahnya apoteker tak punya kewenangan untuk membikin ramuan obat tanpa resep dari seorang dokter.
Kalau ahli hadis tersebut memaksakan diri berbicara tentang fikih yang bukan menjadi wilayah kompetensinya, pinjam istilahnya Khaled Abou El Fadl, ia akan menjadi "pelempar hadis." Ia akan melempari siapapun yang punya pendapat tak sama dengan yang ia yakini dengan hadis yang ia hafal tanpa ia mau repot dengan kompleksitas tafsir yang mesti ia lalui saat mengeluarkan opininya. Ia menyodorkan kepada khalayak 'bahan mentah' fikih seperti seorang apoteker menjual bahan obat-obatan kepada pasien tanpa resep dokter.
0 Komentar untuk "Hubungan Antara Ahli Hadits dan Ahli Fiqh"