JAWAB TUNTAS DALIL YASINAN DAN TAHLIL MALAM JUM’AT

JAWAB TUNTAS DALIL YASIN DAN TAHLIL MALAM JUM'AT

Salah satu tradisi dan rutinitas yang hingga kini tetap dilestarikan oleh masyarakat Nusantra pada saat malam jum’at tiba adalah mengadakan acara tahlilan. Terma ‘tahlil’ berasal dari bahasa arab Tahlilan dengan shighot mashdar yang merupakan derifat dari kata Hallala-Yuhallilu-.Tahlil sendiri merupakan kata yang disingkat dari Lailahaillallah yang dalam literatur ilmu Arab dikenal dengan istilahal Naht. Kata Tahlil kemudian menjadi istilah atas sebuah tradisi berkumpulnya beberapa orang untuk membaca al-Quran dan dzikir-dzikir yang diamalkan oleh Rasulullah saw seperti tasbih, takbir, istighfar dan sebagainya, untuk dihadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal.

di dalam ‘Tahlil’ itu sendiri terdapat berbagai rangkaian acara, seperti; membaca al-Qur’an bersama-sama, membaca al-Qur’an dengan suara keras, membaca dzikir bersama-sama, membaca dzikir dengan suara keras, mengkhususkan salah satu surat dalam al-Qur’an untuk dibaca, mengkhususkan waktu, sampaikah pahala bacaan al-Qur’an dan dzikirnya kepada orang yang meninggal, memberikan hidangan kepada orang-orang yang melakukan tahlil dan sebagainya.

Rangkaian-rangkian acara diatas merupakan masalah independen, dalam arti tidak ada relevansi hukum antra rangkaian satu dengan rangkaian yang lain. Untuk memahami hukum tahlil dengan baik, kita harus meninjaunya dari segala sisi, dalam arti, setiap masalah-masalah diatas harus dicarikan hukumnya. Tidak dibenarkan jika seseorang memberikan hukum tahlil dengan  satu hukum tanpa memberikan perincian. Sebab sebagaimana yang saya kemukakan diatas, tahlil merupakan serangkaian acara yang kompleks yang sudah barang tentu setiap rangkaian acara tersebut memiliki hukum yang berbeda pula.

1. DZIKIR BERSAMA PADA MALAM JUM’AT

Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthiy dalam kitab al-Jami’ al-Kabir meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi

جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي - (ج 1 / ص 6234)
إنَّ الْأَعْمَالَ تُرْفَعُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ .
Artinya: Sesungguhnya amal perbuatanan akan diangkat pada kehadirat Alloh swt pada hari senin dan kamis, aku senang sekiranya amal perbuatanku diangkat pada Alloh swt sedang aku dalam keadaan puasa. (al-Jami’ al-Kabir: I, 6234)

Dalam hadits diatas, Rosululloh saw memberikan informasi bahwa amal perbuatan yang lakukan umat manusia akan dilaporkan kepada Alloh saw pada hari senin dan kamis. oleh karna itu, Rosululloh saw setiap hari senin dan kamis melakukan ibadah puasa dengan harapan, pada saat amal perbuatan itu dilaporkan, beliau dalam keadaan melakukan kebaikan berupa ibadah puasa.

Hadits ini jika ditinjau dari sisi teksual memiliki makna anjuran kepada kita semua untuk senantiasa berpuasa setiap hari senin dan kamis. Namun, jika kita telisik spirit dari hadits tersebut, maka makna yang bisa petik adalah senantiasa melakukan segala bentuk kebaikan dan ibadah utamanya pada hari senin dan kamis, seperti berpuasa, sedekah, silatur rohim dan lainnya, tak terkecuali berkumpul dalam satu majlis untuk membaca al-Qur’an, sholawat dan dzikir bersama.

Pemahaman yang demikian inidinyatakan oleh imam al-Qoshthollanniy pada saat beliau menafsirkan hadits diatas sebagaimana yang dikutip oleh al imam al-Munawiy sebagai berikut:

فيض القدير - (ج 2 / ص 409)
(إن الأعمال) أي الأعمال القولية والفعلية (ترفع) إلى الله تعالى (يوم الاثنين و) يوم (الخميس) أي ترفع في كل اثنين وخميس (فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم) أخذ منه القسطلاني تبعا لشيخه البرهان ابن أبي شريف مشروعية عنه الاجتماع للصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في ليلة الجمعة والاثنين كما يفعل في الجامع الأزهر ورفع الصوت بذلك لأن الليلة ملحقة باليوم ولأن اللام في الأعمال للجنس فيشمل الذكر والصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم والدعاء لا سيما في ليلة الاثنين فإنها ليلة مولده صلى الله عليه وسلم وقد قال ابن مرزوق إنها أفضل من ليلة القدر انتهى ، وأقول لا يخفى ما في الأخذ المذكور من البعدوالتعسف.
Artinya: Sesungguhnya amal perbuatanan akan diangkat pada kehadirat Alloh swt pada hari senin dan kamis, aku senang sekiranya amal perbuatanku diangkat pada Alloh swt sedang aku dalam keadaan puasa. Dari hadits ini imam al-Qosthollaniy mengambil kesimpulan dengan mengikuti gurunya Burhan bin Abi Syarif bahwa disyariatkan untuk berkumpul-kumpul membaca sholawat kepada nabi pada malam jum’at dan senin sebagaimana yang dilakukan di universitas kairo dan membacanya dengan suara keras.karna malam hari disamakan dengan siang. disamping itu,‘Lam’ yang terdapat pada lafad ‘al-A’mal’ berfaidah lil Jinsi sehingga mencakup dzikir, membaca sholawat dan berdoa utamanya malam senin, sebab hari itu merupakan hari kelahiran nabi Muhammad saw. Imam Ibnu Mazruq menyatakan: “hari kelahiran nabi lebih utama dari pada malam Lailatul Qodar”. Saya (al-Munawiy) mengatakan,” kesimpulan yang diambil oleh al-Qosthollaniy diatas jauh dari kebenaran dan merupakan sikap fanatic” (Faidul Qodir: II, 409)

Menurut imam al-Qoshthollaniy, berkumpul pada waktu malam jum’at untuk membaca al-Qur’an, sholawat dan dzikir bersama sebagaimana tradisi tahlilan yang berlaku di masyarakat kita merupakan hal yang dianjurkan oleh syariat berdasarkan hadits dalam Jami’ al-Kabir diatas. Pandangan al-Qosthollaniy ini kemudian mendapat kritikan dari al-Munawi, menurut beliau, menjadikan hadits dalam Jami’ al-Kabir sebagai landasan anjuran berkumpul untuk membaca al-Qur’an, sholawat dan dzikir bersama (baca: tahlil) tidaklah tepat.pemahaman imam al-Qoshthollaniy atas hadits diatas dalam kacamata imam al-Munawi dinilai sebagai bentuk fanatisme terhadap gurunya.

Kritik yang dilontarkan oleh al-Munawiy terhadap pandangan al-Qoshthollaniy diatas mendapat tanggapan dari imam Syabromallisi,seorang ulama besar bermadzhab Syafi’iy.Dalam kritikannya beliau menyatakan:

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - (ج 2 / ص 343).
{ إنَّ الْأَعْمَالَ تُرْفَعُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ } مَا نَصُّهُ : أَخَذَ مِنْهُ الْقَسْطَلَّانِيُّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْبُرْهَانِ بْنِ أَبِي شَرِيفٍ مَشْرُوعِيَّةَ الِاجْتِمَاعِ لِلصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَالِاثْنَيْنِ كَمَا يُفْعَلُ فِي الْجَامِعِ الْأَزْهَرِ ، وَرَفْعَ الصَّوْتِ بِذَلِكَ لِأَنَّ اللَّيْلَةَ مُلْحَقَةٌ بِالْيَوْمِ لِأَنَّ اللَّامَ فِي الْأَعْمَالِ لِلْجِنْسِ فَيَشْمَلُ الذِّكْرَ وَالصَّلَاةَ وَالسَّلَامَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالدُّعَاءَ لَا سِيَّمَا فِي لَيْلَةِ الِاثْنَيْنِ فَإِنَّهَا مُؤَكَّدَةٌ ، وَقَدْ قَالَ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنَّهَا أَفْضَلُ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ا هـ .وَأَقُولُ : لَا يَخْفَى مَا فِي الْأَخْذِ الْمَذْكُورِ مِنْ الْبُعْدِ وَالتَّعَسُّفِ ا هـ .وَالْأَقْرَبُ مَا قَالَهُ الْقَسْطَلَّانِيُّ .
Artinya: Sesungguhnya amal perbuatanan akan diangkat pada kehadirat Alloh swt pada hari senin dan kamis, aku senang sekiranya amal perbuatanku diangkat pada Alloh swt sedang aku dalam keadaan puasa. Dari hadits ini imam al-Qosthollaniy mengambil kesimpulan dengan mengikuti gurunya Burhan bin Abi Syarif bahwa disyariatkan untuk berkumpul-kumpul membaca sholawat kepada nabi pada malam jum’at dan senin sebagaimana yang dilakukan di universitas kairo, dan membacanya dengan suara keras, sebab malam hari disamakan dengan siang hari karna malam hari disamakan dengan siang hari disamping itu Lam yang terdapat pada lafad al-A’mal berfaidah lil Jinsi sehingga mencakup dzikir, membaca sholawat dan berdoa utamanya malam senin, sebab itu merupakan hari kelahiran nabi Muhammad saw. Imam Ibnu Mazruq menyatakan: “hari kelahiran nabi lebih utama dari pada malam Lailatul Qodar”. Saya (al-Munawiy) mengatakan,” kesimpulan yang diambil oleh al-Qosthollaniy diatas jauh dari kebenaran dan merupakan sikap fanatic”.Menurut saya (Syabromallisiy) pendapat  yang mendekati kebenaran adalah pernyataan al-Qosthollaniy diatas.  (Nihayatul Muhtaj: II, 343)

Anjuran untuk membaca sholawat, berdzikir dan membaca al-Qur’an pada malam jum’at sebagaimana tradisi tahlilan yang di lakukan masyarakat kita, dinyatakan pula olehimam Romliy sebagai berikut:

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - (ج 2 / ص 343)
( وَالصَّلَاةَ ) أَيْ وَيُكْثِرُ مِنْ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ ( عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) فِي يَوْمِهَا وَلَيْلَتِهَا الْخَبَرَ { إنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا مِنْ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ } رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَخَبَرُ { أَكْثِرُوا مِنْ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا } وَتَنْصِيصُ الْمُصَنِّفِ عَلَى الصَّلَاةِ لَيْسَ يُقَيِّدُ بَلْ يَجْرِي طَلَبُ الْإِكْثَارِ فِي الذِّكْرِ وَالتِّلَاوَةِ أَيْضًا نَعَمْ يُؤْخَذُ مِنْ الْخَبَرِ أَنَّ الْإِكْثَارَ مِنْهَا أَفْضَلُ مِنْهُ بِذِكْرٍ أَوْ قُرْآنٍ .
Artinya: Sunnah hukumnya memperbanyak bacaan sholawat kepada Rosulloh SAW pada malam atau siang harinya berdasarkan hadits “sesungguhnya hari yang paling utama adalah hari jum’at, maka perbanyaklah membaca sholawat kepadaku sebab sholawat kalian akan diperlihatkan kepadaku”. HR. Abu Dawud.Hadits lainnya “perbanyaklah membaca sholawat kepadaku pada waktu malam jum’at dan siang harinya.Barang siapa membaca sholawat kepadaku satu kali, maka Alloh akan memberikan pahala sepuluh”.Penyebutkan sholawat secara spesifik oleh Mushonnif bukanlah menjadi pengkhususan.Akan tetapi, anjuran untuk memperbanyak bacaan juga berlaku untuk dzikir dan membaca al-Qur’an.Benar memang, berdasarkan hadits diatas memperbanyak sholawat lebih baik dari pada memperbanyak dzikir dan al-Qur’an. (Nihayatul Muhtaj: II, 343)

Mengacu pada data-data diatas, dapat ditarik sebuah konklusi: ‘tradisi berkumpul untuk membaca al-Qur’an, sholawat dan dzikir secara bersama yang merupakan hakikat dari tahlil, yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara pada malam jum’at memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggung jawabkan’.


2. MENGKHUSUSKAN WAKTU

Mengkhususkan hari dan jam tertentu untuk melakukan hal yang baik, misalnya membaca al-Qur’an, sholawat dan dzikir secara bersama (tahlil) pada malam atau hari jum’at merupakan hal yang diperkenanan oleh agama berdasarkan hadits shohih riwayat Bukhoriy sebagai berikut

صحيح البخارى - (ج 4 / ص 497)
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَأْتِى مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا . وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ - رضى الله عنهما - يَفْعَلُهُ
Artinya: "Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw mendatangi masjid Quba' setiap hari Sabtu, baik berjalan atau menaiki tunggangan. Dan Abdullah bin Umar melakukannya"

Berdasarkan hadits shohih diatas, Al-Hafidz Ibnu Hajar yang diberi gelar Amirul Mu'minin fil Hadis, memberikan komentar:

(فتح الباري لابن حجر(ج 3 / ص 69)
وَفِي هَذَا اَلْحَدِيْثِ عَلَى اِخْتِلاَف طُرُقِهِ دَلاَلَةٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
Artinya: "Dalam hadis ini, dengan bermacam jalur riwayatnya, menunjukkan diperbolehkannya menentukan sebagian hari tertentu dengan sebagian amal-amal saleh, dan melakukan-nya secara terus-menerus"


3. MENGKHUSUSKAN SURAT AL-QUR’AN

Sebagaimana yang kami ungkapkan diatas, bacaan-bacaan dalam tahlilan merupakan rangkaian, sholawat, dzikir dan ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an yang umum dibaca pada saat tahlil adalah surat Yasin, al-Fatihah, awal dan akhir surat al-Baqoroh, surat al-Ikhlash, muawwidzatain dan ayat Kursiy. Artinya, ada pengkhususan sebagian surat atau ayat al-Qur’an untuk dibaca.

Dalam pandangan agama, mengkhususkan surat atau ayat tertentu untuk dibaca tidak dilarang. hal ini berdasarkan pada hadits shohih riwayat imam Bukhoriy sebagai berikut

صحيح البخارى - (ج 3 / ص 305)
وَقَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِى مَسْجِدِ قُبَاءٍ ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِى الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِپ ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا ، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ ، فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى ، فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى . فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا ، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ . وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ ، فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ « يَا فُلاَنُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ » . فَقَالَ إِنِّى أُحِبُّهَا . فَقَالَ « حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ »
Artinya: Ubaidillah berkata, dari Tsabit bin Anas RA, ada salah seorang sahabat Anshor menjadi imam di masjid Kuba, setiap kali ia membaca surat pada waktu sholat slalu memulainya dengan surat al-Ikhlas lalu melanjutkan dengan surat yang lain dan itu dilakukan setiap rokaat. Para makmunyapun berbicara kepada dia, kamu telah memulaiya dengan surat al-Ikhlas, apakah itu tidak cukup hingga kamu melanjutkannya dengan membaca surat yang lain, apakah tidak sebaiknya membaca al-ikhlas saja atau tidak membacanya dan diganti dengan surat yang lain? Diapun menjawa; saya tidak akan tetap akan membacanya, kalau kalian senang saya akan mengimami kalian, namun jika kalian tidak senang saya tidak akan mengimami kalian. Namun mereka enggan kalau diimami oleh orang lain sebab menurut mereka dialah orang yang paling utama untuk mengimami mereka. Pada saat mereka berjumpa dengan Nabi mereka menceritakan apa terjadi. Nabipun memanggil imam tadi dan berkata: “wahai fulan apa yang menjadikan kamu tidak mengikuti anjuran dari makmummu dan apa yang menjadikan kamu slalu membaca surat tersebut disetiap rokaat?” diapun menjawab; “saya senang surat al-Ikhlas ya Rosul”. Rosulpun menimpali, “kesenanganmu terhadap surat itu akan memasukkanmu kedalam surge”

Dengan mengacu pada hadits diatas, Ahli hadits Ibnu Hajar memberikan penjelasan :

(فتح الباري لابن حجر ج 2 / ص 258)
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْقُرْآنِ بِمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَالِاسْتِكْثَارِ مِنْهُ وَلَا يُعَدُّ ذَلِكَ هِجْرَانًا لِغَيْرِهِ
Artinya: Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya menentukan membaca sebagian al-Quran berdasarkan kemauannya dan memperbanyak bacaan tersebut. Dan hal ini bukanlah pembiaran pada surat yang lain"

Hadits beserta paparan al-Hafidz Ibnu Hajar diatas mengantarkan kita pada satu kesimpulan, ‘mengkhususan sebagian surat atau ayat al-Qur’an untuk dibaca pada saat dan moment tertentu pula hukumnya diperkenankan dalam agama Islam’.



4. MEMBACA AL-QUR’AN BERSAMA

Membaca al-Qur’an bersama-sama hukumnya boleh bahkan sunnah.hal ini didasarkan pada beberapa hadits, antara lainsebuah hadits shohih riwayat Muslim sebagai berikut

صحيح مسلم - (ج 8 / ص 71)
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُه
Artinya: Tidaklah sebuah kaum berkumpul dirumah Alloh untuk membaca al-Qur’an dan mempelajarinya melainkan Alloh akan menurunkan ketanangan bagi mereka, menyelimuti mereka dengan kasih sayang, dikelilingi oleh para malaikat dan Alloh akan membanggakan mereka kepada para malaikat. Barang siapa yang memperlambat diri untuk memperoleh derajat tinggi, maka nasabnya yang luhur tidak akan bisa menjadikan ia memperolehnya. 

Berdasarkan hadits diatas imam Nawawi berkata:

شرح النووي على مسلم - (ج 17 / ص 22)
وَفِي هَذَا : دَلِيل لِفَضْلِ الِاجْتِمَاع عَلَى تِلَاوَة الْقُرْآن فِي الْمَسْجِد ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجُمْهُور ، وَقَالَ مَالِك : يُكْرَه ، وَتَأَوَّلَهُ بَعْض أَصْحَابه ، وَيُلْحَق بِالْمَسْجِدِ فِي تَحْصِيل هَذِهِ الْفَضِيلَة الِاجْتِمَاع فِي مَدْرَسَة وَرِبَاط وَنَحْوهمَا إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى ، وَيَدُلّ عَلَيْهِ الْحَدِيث الَّذِي بَعْده فَإِنَّهُ مُطْلَق يَتَنَاوَل جَمِيع الْمَوَاضِع ، وَيَكُون التَّقْيِيد فِي الْحَدِيث الْأَوَّل خَرَجَ عَلَى الْغَالِب ، لَا سِيَّمَا فِي ذَلِكَ الزَّمَان ، فَلَا يَكُون لَهُ مَفْهُوم يُعْمَل بِهِ .
Artinya: Hadits ini menjadi dalil akan keutamaan berkumpul untuk membaca al-Qur’an dimasjid. Ini adalah pendapat dari madzhab saya (syafi’iy) dan pendapat mayoritas ulama.Imam Malik mengatakan yang demikian ini hukumnya makruh, namun sebagian muridnya memberikaan takwil atas ucapannya.Sama halnya dengan masjid dalam hal memperoleh fadilah apabila berkumpul dilakukan di madrasah, pondok pesantren dan lain-lain insyaalloh.Hal ini dibuktikan dengan hadits setelahnya yang secara mutlak mencakup seluruh tempat, sehingga hadits pertama yang secara khusus menyebutkan masjid hanyalah berdasarkan gholibnya, utamanya dizaman sekarang, sehingga hadits ini tidak bisa dipahami secara tekstual.

Bahkan Imam Nawawi membuat bab khusus dalam kitab al-Tibyan mengenai kesunnahan membaca al-Qur’an secara bersama-sama
التبيان في آداب حملة القرآن - (ص 101)
[ فصل ] في استحباب قراءة الجماعة مجتمعين وفضل القارئين من الجماعة والسامعين وبيان فضيلة من جمعهم عليها وحرضهم وندبهم إليها ] الثواب المشترك اعلم أن قراءة الجماعة مجتمعين مستحبة بالدلائل الظاهرة وأفعال السلف والخلف المتظاهرة فقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم : من رواية أبي هريرة وأبي سعيد الخدري رضي الله عنهما أنه قال ما من قوم يذكرون الله إلا حفت بهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده صلى الله عليه وسلم قال الترمذي حديث حسن صحيح وعن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم : قال ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله تعالى يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكره الله فيمن عنده رواه مسلم وأبو داود بإسناد صحيح على شرط البخاري ومسلم وعن معاوية رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم : خرج على حلقة من أصحابه فقال ما يجلسكم * قالوا جلسنا نذكر الله تعالى ونحمده لما هدانا للإسلام ومن علينا به * فقال أتاني جبريل عليه السلام فأخبرني أن الله تعالى يباهي بكم الملائكةرواه الترمذي والنسائي وقال الترمذي حديث حسن صحيح والأحاديث في هذا كثيرة وروى الدارمي بإسناده عن ابن عباس رضي الله عنهما قال من استمع إلى آية من كتاب الله كانت له نورا وروى ابن أبي داود أن أبا الدرداء رضي الله عنه كان يدرس القرآن معه نفر يقرؤون جميعا وروى ابن أبي داود فعل الدراسة مجتمعين عن جماعات من أفاضل السلف والخلف وقضاة المتقدمين وعن حسان بن عطية والأوزاعي أنهما قالا أول من أحدث الدراسة في مسجد دمشق هشام بن إسماعيل في مقدمته على عبد الملك
Artinya: (Fasl) Tentang Kesunnahakan Membaca Al-Qur’an Bersama-Sama, Keutamaan Orang Yang Membaca Dan Yang Mendengarkannya Dan Fadilah Bagi Orang Yang Mengumpulkan, Memotivasi Dan Memulai Tradisi)  pahala akan diterima oleh masing-masing dari mereka. Ketahuilah bahwa membaca al-Qur’an bersama-sama hukumnya sunnah berdasarkan dalil yang sangat jelas dan sudah dilakukan oleh para ulama dari zaman  dahulu hingga sekarang. Ada sebuah hadits shohih dari nabi Muhammad dari jalur Abu Huroiroh dan Abu Sa’id al-Khudriy RA, Rosul bersabda: “Tidaklah sebuah kaum berkumpul untuk berdzikir kepada Alloh melainkan Alloh akan menurunkan ketanangan bagi mereka, menyelimuti mereka dengan kasih sayang, dikelilingi oleh para malaikat dan Alloh akan membanggakan mereka kepada para malaikat. Barang siapa yang memperlambat diri untuk memperoleh derajat tinggi, maka nasabnya yang luhur tidak akan bisa menjadikan ia memperolehnya”.Al-Tirmidzi mengatakan hadits ini statusnya hasan shohih. Dari Abu Huroiroh RA, nabi bersabda: “Tidaklah sebuah kaum berkumpul dirumah Alloh untuk membaca al-Qur’an dan mempelajarinya melainkan Alloh akan menurunkan ketanangan bagi mereka, menyelimuti mereka dengan kasih sayang, dikelilingi oleh para malaikat dan Alloh akan membanggakan mereka kepada para malaikat. Barang siapa yang memperlambat diri untuk memperoleh derajat tinggi, maka nasabnya yang luhur tidak akan bisa menjadikan ia memperolehnya”.HR Muslim dan Abu Dawud dengan sanad shohih, perowinya adalah perowiy hadits Bukhori dan Muslim.  Dari Muawiyah RA, suatu ketika Nabi Muhammad saw keluar menemui para sahabatnya yang sedang berkumpul, lalu beliau bertanya,  Kenapa kalian berkumpul? Para sahabatpun menjawab, kami berkumpul untuk berdzikir dan memuji pada Alloh karna telah memberikan hidayah dan melimpahlam rahmat kepada kita untuk masuk islam. Lalu Rosul berkata: Jibril As mendatangiku dan memberitahuku bahwa Alloh membanggakan kalian semua kepada para malaikat. HR Tirmidzi dan Nasa’iy. Imam Tirmidzi berkata: Hadits ini Hasan Shohih. Hadits yang berkaitan dengan masalah ini banyak sekali. Imam al-Darimiy meriwayatkan sebuah hadits dengan jalur sanad melalui Ibnu Abbas RA, beliau berkata: barang siapa mendengar satu ayat al-Qur’an, maka ayat tersebut akan memberikannya cahaya. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan bahwa Abu Darda’ mengajar al-Qur’an kepada sekelompok sahabat dimana mereka membaca bersama-sama.Ibnu Abi Dawud meriwayatkan bahwa mempelajar idan membaca al-Qur’an secara bersama-sama telah dilakukan oleh banyak ulama salaf maupun kholaf dan para qodli masa lalu. Hasan bin Athiyyah dan al-Auza’iy menyatakan bahwa mempelajari dan membaca al-Qur’an secara bersama-sama di masjid Damaskus pertama kali dilakukan oleh Hisyam bin Ismail pada masa Abdul Malik. 

Kesunnahan membaca al-Qur’an bersama-sama bukan hanya dinyatakan oleh imam Nawawiy saja, namun merupakan pendapat mayoritas Ulama.hal ini diakhui oleh Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taymiyyah sebagaimana dikutip oleh al-Bahutiy sebagai berikut:

كشاف القناع عن متن الإقناع  - (ج 1 / ص 433)
( وَحَكَى الشَّيْخُ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهَا ) أَيْ قِرَاءَةَ الْإِدَارَةِ ( حَسَنَةٌ كَالْقِرَاءَةِ مُجْتَمِعِينَ بِصَوْتٍ وَاحِدٍ ) وَلَوْ اجْتَمَعَ الْقَوْمُ لِقِرَاءَةٍ وَدُعَاءٍ وَذِكْرٍ فَعَنْهُ : وَأَيُّ شَيْءٍ أَحْسَنُ مِنْهُ كَمَا قَالَتْ الْأَنْصَارُ وَعَنْهُ : لَا بَأْسَ وَعَنْهُ : مُحْدَثٌ وَنَقَلَ ابْنُ مَنْصُورٍ مَا أَكْرَهُهُ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى غَيْرِ وَعْدٍ إلَّا أَنْ يَكْثُرُوا قَالَ ابْنُ مَنْصُورٍ يَعْنِي يَتَّخِذُوهُ عَادَةً وَكَرِهَهُ مَالِكٌ
Artinya: (Syaikh Taqiyuddin menyatakan pendapat dari mayoritas Ulama bahwa memabca al-Qur’an secara bergiliran adalah hal yang baik sebagaimana berkumpul membaca al-Qur’an dengan suara serentak) andaikan sebuah kaum berkumpul untuk membaca al-Qur’an, berdoa, dan dzikir menurut pendapat imam Ahmad, ‘adakah hal yang lebih baik dari ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh sahabat Anshor’. Pendapat lain dari beliau. ‘tidak apa-apa’. Pendapat lainnya, ‘itu adalah hal baru’.Ibnu Manshur mengutip pernyataan dari imam Ahmad bahwa beliau menghukumi makruh apabila hal itu dijadikan tradisi.Imam Maliki menghukumi makruh membaca al-Qur’an dengan suara serentak.

5. MEMBACA AL-QUR’AN DAN DZIKIR DENGAN SUARA KERAS


Mengeraskan suara pada saat dzikir atau membaca al-Qur’an merupakan masalah yang banyak dikaji oleh para ulama, hal ini dikarnakan ada beberapa hadits yang menganjurkan berdzikir dengan suara keras dan ada hadits lain pula yang menganjurkan untuk memelankan suara pada saat berdzikir atau membaca al-Qur’an. Inilah yang memotivasi para ulama untuk membuat bab –bahkan kitab- yang secara khusus membahas masalah ini.

Salah satu ulama yang membuat bab khusus dalam masalah ini adalah imam al-Suyuthi. Dalam sebuah kesempatan, beliau pernah mendapatkan pertanyaan mengenai orang-orang yang berdzikir bersama dengan suarat keras. Mendapat pertanyaan ini beliaupun memberikan jawaban:

الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 2 / ص 75)
سألت أكرمك الله عما اعتاده السادة الصوفية من عقد حلق الذكر والجهر به في المساجد ورفع الصوت بالتهليل وهل ذلك مكروه أو لا.
Aku bertanya kepadamu, semoga Allah swt memuliakanmu (Syaikh‘Allamah As-Sayuthi), tentang tradisi pemuka-pemuka ulama sufi: mengadakan halaqah dan mengeraskan suara zikir dalam mesjid serta mengeraskan suara  pada saat membaca tahlil, apakah semua itu makruh atau tidak?”

الجواب - إنه لا كراهة في شيء من ذلك وقد وردت أحاديث تقتضي استحباب الجهر بالذكر وأحاديث تقتضي استحباب الأسرار به والجمع بينهما أن ذلك يختلف باختلاف الأحوال والأشخاص كما جمع النووي بمثل ذلك بين الأحاديث الواردة باستحباب الجهر بقراءة القرآن والواردة باستحباب الأسرار بها وها أنا أبين ذلك فصلا فصلا.ذكر الأحاديث الدالة على استحباب الجهر بالذكر تصريحا أو التزاما.
Beliau (Syaikh ‘Allamah As-Sayuthi) menjawab: Sesungguhnya semua itu tidaklah makruh. sebab banyak hadits yang menunjukkan sunnah mengeraskan suara pada saat zikir dan banyak pula hadits yang menganjurkan memelankan syara, sehingga perlu dijama’ (dikompromikan), bahwa terjadi perbedaan itu (nash jihar dan sir) dikarenakan perbedaan kondisi dan pribadi.Hal yang sama juga dilakukan Nawawi, menjama’ antara hadits-hadits tentang sunat jihar dan sirr membaca Al-Quran. Begitulah. Sekarang aku akan menjelaskan tentang mengeraskan suara zikir sejelas-jelasnya, Lalu beliau menyebut hadits-hadits yang menunjuk kesunnahan mengeraskan suara pada saat zikir, baik tersurat (shorih)  maupun tersirat (iltizam).

Hadits Pertama

(الحديث الأول) أخرج البخاري عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الله أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا ذكرني فان ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وان ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منه والذكر في الملأ لا يكون إلا عن جهر.
Bukhari meriwatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman: “Aku menurut praduga hambaKu kepadaKu, Aku bersamanya bila dia menyebutKu. Kalau dia menyebutKu dalam hatinya, Akupun menyebut dia dalam hatiKu  Dan bila dia menyebutKudalam sebuah jama’ah, Akupun menyebut dia dalam jama’ah yang lebih baik (banyak) dari jama’ah dia. ( Syaikh mengomentari hadits ini: ”zikir dalam jama’ah tidak lain adalah dengan dibaca keras”

Hadits ke Dua

(الحديث الثاني) أخرج البزار والحاكم في المستدرك وصححه عن جابر قال خرج علينا النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا أيها الناس إن لله سرايا من الملائكة تحل وتقف على مجالس الذكر في الأرض فارتعوا في رياض الجنة قالوا وأين رياض الجنة قال مجالس الذكر فاغدوا وروحوا في ذكر الله.
Al-Bazzar dan Hakim mengeluarkan meriwayatkan hadits dari Jabir dalam Mustadrak sekaligus mentashhihkannya, Jabir berkata: Rasulullah saw datanng kepada kami, lalu beliau berkata: “Wahai, manusia, sesungguhnya Allah swt punya Malaikat Saraya (terbang malam) yang berhenti pada majelis-majelis zikir di bumi. (Karena itu), maka ramaikanlah ‘kebun surga’. ”Sahabat bertanya: “Dimana kebun surga?”.Beliau menjawab:”majelis-majelis zikir, hendaknya kalian selalu menyebut Allah swt pagi dan petang”

Hadits Ke Tiga

(الحديث الرابع) أخرج مسلم والترمذي عن أبي هريرة وأبي سعيد الخدري رضي الله تعالى عنهما قال- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من قوم يذكرون الله إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده
Imam Muslim dan Tarmizi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudri RA, beliau berkata: Rasulullah bersabda: ”Tidaklah suatukaum yang berzikir kepada Allah swt melainkan dikelilingi para Malaikat, dilimpahkan rahmat,  diturunkan ‘sakinah’ (ketenangan jiwa) kepada mereka serta Allah swt menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada disisiNya”

Setelah beliau menjelaskan dua puluh lima hadits yang menjelaskan anjuran berdzikir dengan suara keras, beliau mengatakan:

(فصل) إذا تأملت ما أوردنا من الأحاديث عرفت من مجموعها أنه لا كراهة البتة في الجهر بالذكر بل فيه ما يدل على استحبابه إما صريحا أو التزاما كما أشرنا إليه،
Kalau kamu mau memikirkan secara mendalam terhadap hadits-hadits yang kami telah kemukakan di atas, jelaskan, tidaklah makruh mengeraskan suara pada saat dzikir, bahkan hadits-hadits tersebut menunjukkan SUNHAH mengeraskan suara, baik secara tersirat atau tersurat seperti yang telah kami paparkan di atas

وأما معارضته بحديث خير الذكر الخفي فهو نظير معارضة أحاديث الجهر بالقرآن بحديث المسر بالقرآن كالمسر بالصدقة، وقد جمع النووي بينهما بأن الإخفاء أفضل حيث خاف الرياء أو تأذى به مصلون أو نيام والجهر أفضل في غير ذلك لأن العمل فيه أكثر ولأن فائدته تتعدى إلى السامعين ولأنه يوقظ قلب القارئ ويجمع همه إلى الفكر ويصرف سمعه إليه ويطرد النوم ويزيد في النشاط،
Adapun bila hadits-hadits di atas, secara lahiriyahnya bertentangan dengan hadits ”sebaik-baik dzikir adalah dzikir yang  samar” maka sebanding dengan paradog (mu’aradhah) antara hadits-hadits mengeraskan bacaan al-Qur’an dan hadits “orang yang membaca al-Qur’an dengan suara pelan sama dengan orang yang bersedekah dengan cara disamarkan”. Dalam hal ini, Imam Nawawi telah mengaharmonis (jama’=mencari jalan tengah) antara hadits-hadits yang muatannya bertentangan dengan kesimpulan: membaca pelan lebih baik kalau khawatir menimbulkan riya, mengganggu orang yang sholat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan membaca keras lebih afdhal pada bukan kondisi-kondisi di atas, sebab perkerjaannya lebih banyak dan manfaatnya juga bisa dirasakan oleh orang lai., amal yang manfaatnya bisa diraskan juga oleh orang lain lebih utama dari pada amal yang hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Selain itu mengeraskan suara dapat menggugah hati pembaca, menjadikan ia konsentrasi terhadapnya, mengerahkan pendengaan kepadanya, menghilangkan kantuk, menambah semangat dan menjadikan orang yang tidur dan lali tergugah dan menjadikan semangat. 

وقال بعضهم: بستحب الجهر ببعض القراءة والإسرار ببعضها لأن المسر قد يمل فيأنس بالجهر والجاهر قد يكل فيستريح بالإسرار انتهى، وكذلك نقول في الذكر على هذا التفصيل وبه يحصل الجمع بين الأحاديث
Sebagian ulama berpendapat: sunhah hukumnya mengeraskan sebahagian bacaan (Al-Quran) dan memelankan sebagian lainnya, karena orang yang memelankan suara boleh jadi bosan, maka ia akan suka membaca al-Qur’an dengan suara keras, dan orang yang membaca dengan suara keras terkadang lelah maka ia akan beristirahat dengan membaca al-Qur’an dengan suara pelan.
Perincian hukum dzikir juga seperti ini, dengan demikian hadits-hadits yang paradoks bisa diharmoniskan

Dikitab yang sama beliau juga memberikan penjelasan:

الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 3 / ص 465)
(وأما السؤال الثالث والثلاثون): فقد وردت أحاديث تقتضي استحباب الجهر بالذكر وأحاديث تقتضي استحباب الإسرار به والجمع بينهما إن ذلك يختلف باختلاف الأحوال والأشخاص
(Pertanyaan ke tigapuluh tiga) ada beberapa hadits yang mengarah pada hukum sunnah mengeraskan suara pada saat dzikir dan beberapa hadits lain yang mengarah pada anjuran memelankan suara pada saat berdzikir. Adapun cara mengharmoniskan kedua hadits yang bertentangan ini adalah bahwa hukum mengeraskan suara pada saat berdzikir itu kondisional dalam arti tergantung orang dan keadaannya. 

Lebih lanjut lagi beliau menyatakan:

والجمع بين الآية والحديث السابقين الذين استدل بهما وبين هذه الأحاديث والأثران الذاكرين إذا كانوا مجتمعين على الذكر فالأولى في حقهم رفع الصوت بالذكر والقوة وأما إذا كان الذاكر وحده فإن كان من الخاص فالإخفاء في حقه أولى وإن كان من العام فالجهر في حقه أفضل.
Adapun cara mengharmoniskan antara ayat dan kedua hadits yang dijadikan dalil memelankan suara pada saat dzikir dan beberapa hadits dan kedua atsar yang ditelah disebutkan diatas adalah (dalil mengeraskan suara pada saat dzikir) adalah, jikalau mereka berdzikir bersama-sama, maka yang lebih baik bagi mereka adalah mengeras dan menguatkan suara pada saat dzikir. Kalau dia sendirian dan dia masuk katagori orang khusus, maka yang lebih baik bagi dia adalah memelankan suara, dan jika dia masuk katagori orang awam, maka yang lebih baginya adalah mengeaskan suaranya

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkan, berzikir dengan suara pelan disunnahkan apabila khawatir menimbulkan sifat riya’, ujub atau hal-hal lain yang dilarang oleh agama.jika tidak dalam kondisi demikian, maka tatacara yang sunnah adalah dengan mengeraskan suara, sebab selain dapat menggugah hati pembaca, menjadikan ia konsentrasi, menghilangkan kantuk dan menambah semangat, berdzikir dengan suara keras  manfaatnnya juga bisa dirasakan oleh orang lain. Dalam kaidah Fiqh disebutkan “al-Muta’addi Khoirun minal Qoshir”, suatu amal yang manfaatnya juga bisa dirasakan oleh orang lain, lebih baik dari pada amal yang hanya dirasakan manfaatnya oleh dirinya sendiri. Ketentuan ini berlaku jika ia membacanya sendirian, jika ia membaca bersama-sama sebagaimana pada saat tahlilan, maka yang paling baik adalah membacanya dengan suara keras.

6. MEMBACA AL-QUR’AN DAN DZIKIR BERSAMA UNTUK DIHADIAHKAN PAHALANYA KEPADA ORANG YANG MENINGGAL DUNIA

Kalau kita membuka lembaran-lembaran karya ulama terdahulu, maka akan dapati bahwa tradisi tahlilan yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita, merupakan tradisi yang sudah dilakukan sejak dahulu dan dianjurkan oleh para ulama untuk dilakukan. hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh imam al-Syaukaniy sebagai berikut:

(الرسائل السلفية للشيخ علي بن محمد الشوكان يص : 46)
الْعَادَةُالْجَارِيَةُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِي الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ وَكَذَلِكَ فِي الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةُ عَنْ مَعْصِيَةٍ سَالِمَةً مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لأَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَّمَا إِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَيُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِي حَدِيْثِ اقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَحَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ أَوْعَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ أَوْبَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْبَيْتِهِ اهـ
Artinya: "Tradisi yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam syariah.tidak diragukan lagi, apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan sebagainya.Dan tidaklah dilarang menjadikan pahala bacaan al-Quran itu untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid atau di rumahnya".

Tak hanya imam al-Syaukaniy, ulama Hanabilah juga memberikan informasi, tradisi berkumpul untuk membaca al-Qur’an dan dzikir bersama yang tidak lain adalah tahlilan, dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal dunia adalah sebuah tradisi dari generasi kegenerasi dan tidak ada seorang ulamapun yang mengingkarinya.

كشاف القناع عن متن الإقناع  - (ج 2 / ص 147)
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ ، لِلنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِيهِ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْتَمِعُونَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُونَ وَيَهْدُونَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا وَقَالَ الْأَكْثَرُ : لَا يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ الْقِرَاءَةِ وَأَنَّ ذَلِكَ لِفَاعِلِهِ وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى { : وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } وَ { لَهَا مَا كَسَبَتْ } وَبِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ } الْخَبَرُ وَجَوَابُهُ عَنْ الْآيَةِ الْأُولَى : بِأَنَّ ذَلِكَ فِي صُحُفِ إبْرَاهِيمَ وَمُوسَى قَالَ عِكْرِمَةُ : هَذَا فِي حَقِّهِمْ خَاصَّةً بِخِلَافِ شَرْعِنَا ؛ بِدَلِيلِ حَدِيثِ الْخَثْعَمِيَّةِ ، أَوْ بِأَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ بِقَوْلِهِ : { وَاَلَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْبِإِيمَانٍ } أَوْ أَنَّهَا مُخْتَصَّةٌ بِالْكَافِرِ أَيْ : لَيْسَ لَهُ مِنْ الْخَيْرِ إلَّا جَزَاءُ سَعْيِهِ ، يُوَفَّاهُ فِي الدُّنْيَا وَمَالَهُ فِي الْآخِرَة مِنْ نَصِيبٍ أَوْ أَنَّ مَعْنَاهَا لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى عَدْلًا ، وَلَهُ مَا سَعَى غَيْرُهُ فَضْلًا أَوْ أَنَّ اللَّامَ بِمَعْنَى عَلَى كَقَوْلِهِ تَعَالَى { : أُولَئِكَ لَهُمْ اللَّعْنَةُ } وَعَنْ الثَّانِيَةِ : بِأَنَّهَا تَدُلَّ بِالْمَفْهُومِ وَمَنْطُوقُ السُّنَّةِ بِخِلَافِهِ وَعَنْ الْحَدِيثِ بِأَنَّ الْكَلَامَ فِي عَمَلِ غَيْرِهِ لَا عَمَلِهِ .
Artinya: Imam Ahmad berkata: mayit dapat memperoleh pahala setiap kebaikan yang ditujuan untuknya, hal ini didasarkan pada hadits-hadits yang ada. Selain itu, orang-orang muslim berkupul-kumpul untuk membaca al-Qur’an lalu menghadiahkan pahalanya kepada orang yang meninggal tanpa ada yang mengingkari, dengan demikian masalah ini merupakan bentuk consensus (ijma’). Mayoritas ulama menyatakan tidak sampai berdasarkan firman Alloh yang artinya “sesungguhnya seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali yang ia usahakan”, “mereka akan mendapatkan pahala dari apa yang mereka usahakan” dan hadits Nabi SAW, “apabil anak cucu Adam meninggal dunia, maka amal perbuatannya akan terputus… hadits”. Jawaban untuk ayat pertama: ayat ini berlaku dalam syariat nabi Ibrohim dan Musa. Ikrimah berkata: “ayat ini berlaku secara khusus untuk kaum beliau berdua, bukan untuk syariat kita, hal ini dibuktikan dengan hadits Khotsamiyyah”. Atau ayat ini telah di non aktifkan hukumnya berdasarkan firman Alloh:والذين آمنوا وأتبعناهم ذرياتهم “dan orang-orang yang beriman dan kami ikutkan keturunannya kepada mereka”. Atau ayat ini berlaku khusus untuk orang kafir. Yakni orang kafir tidak bisa mendapatkan pahala kebaikan kecuali pahala amal baik yang ia kerjakann didunia, mereka tidak akan mendapat pahala kebaikan di akhirat. Atau bermakna, “secara adil seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali yang ia usahakan, secara keutamaan namun ia akan mendapatkan pahala dari orang lain” atau Lam yang terdapat pada kalimat al-Insan bermakna atas, sebagaimana firman Alloh “sesungguhnya mereka akan tertimpa laknat”. Sedangkat ayat yang kedua menunjukkan ketidaksampaian berdasarkan pemahaman padalal bertentangan dengan redaksional hadits. Sedangkan jawaban untuk hadits, “yang kita bahas adalah pahala  amal orang lain, bukan pahala amal dia”.


7. DZIKIR CAMPURAN

Imam Ibnu Taymiyyah pernah ditanyakan mengenai hukum orang-orang yang berdzikir bersama dengan suara keras, yang mereka baca adalah sebagian ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, sholawat dan lain-lain lalu berdoa untuk orang-orang muslim baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Sebagian orang pada masa itu ada yang berpendapat bahwa yang  tradisi tersebut adalah bid’ah, mengeraskan suara pada saat dzikir juga bid’ah. Menanggapi pertanyaan ini, beliau memberikan jawaban
(مجموع الفتاوى لابن تيمية 22 / 302)
(وَسُئِلَ) عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُوْلُ لَهُمْ هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُوْنَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُوْنَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ لِلْمُسْلِمِيْنَ اْلأَحْيَاءِ وَاْلأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُوْنَ التَّسْبِيْحَ وَالتَّحْمِيْدَ وَالتَّهْلِيْلَ وَالتَّكْبِيْرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُنْكِرُ يُعْمِلُ السَّمَاعَ مَرَّاتٍ بِالتَّصْفِيْقِ وَيُبْطِلُ الذِّكْرَ فِي وَقْتِ عَمَلِ السَّمَاعِ (فَأَجَابَ) اْلاِجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي اْلأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيْحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ { إنَّ ِللهِ مَلاَئِكَةً سَيَّاحِيْنَ فِي اْلأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوْا بِقَوْمِ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوْا إلَى حَاجَتِكُمْ } وَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Artinya:  "Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang ingkar terhadap kelompok ahli dzikir. Ia berkata bahwa dzikir ini bid'ah, suara keras dalam dzikir juga bid'ah. Kelompok ahli dzikir ini memulai dengan bacaan al-Quran dan mengkhatamkannya, kemudian berdoa untuk umat Islam baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Mereka mengumpulkan bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah dan bershalawat kepada Rasulullah Saw….? Ibnu Taimiyah menjawab: Berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, mendengarkan bacaan al-Quran dan doa, adalah amal shaleh dan bentuk pendekatan diri atau ibadah yang paling utama dalam beberapa waktu. Dalam hadis sahih Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berpatroli di bumi. Apabila mereka berjumpa dengan kaum yang berdzikir kepada Allah, maka malaikat tersebut berseru: Kemarilah untuk memenuhi hajat kalian…"

Tradisi masyarakat pada masa imam Ibnu Taymiyyah dimana orang-orang berkumpul untuk berdzikir bersama dengan suara keras tidak lain adalah tradisi ‘tahlilan’ yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita. hal ini terbutkti bahwa yang mereka baca pada saat itu adalah campuran dari sebagian ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, sholawat dan lain-lain lalu berdoa untuk orang-orang muslim baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal, dan dalam pandangan Ibnu Taymiyyah hal yang demikian ini adalah ’amal sholih’.

Pada masa Ibnu Taymiyyah sudah ada sebagian orang yang teriak-teriak lantang bahwa tradisi itu adalah bid’ah, mengeraskan suara pada saat melakukan tradisi tersebut yang isinya adalah dzikir juga bid’ah, Ibnu Taymiyyah tampil membungkam mulut mereka dengan mengeluarkan fatwa bahwa tradisi yang demikian itu adalah amal sholih, bukan amalan bid’ah.

Dengan adanya penjelasan para Ulama diatas, maka jelaslah bahwa tradisi tahlilan yang  berlaku dimasyarakat kita,tidak ada sedikitpun unsur terlarang di dalamnya, baik terkait waktu dan bacaan. Kalau dalam materi tahlil tidak ada unsur yang haram, bagaimana mungkin tradisi tahlil bisa diharamkan? Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan:

(إحياء علوم الدين للامام الغزالي 2 / 273)
إِذَا لَمْ يَحْرُمِ اْلآحَادُ فَمِنْ أَيْنَ يَحْرُمُ الْمَجْمُوْعُ
Artinya: Jika secara satu persatu (partikel) tidak ada yang haram, lalu darimana secara keseluruhannya menjadi haram?" 




REFRENSI

  1. Al-Asqollaniy, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bariy Syarh Shohih al-Bukhoriy. Bairut: Dar al-Ma’rifah.
  2. Al-Bukhoriy, Abu Abdillah, Shohih al-Bukhoriy, CD: Maktabah Syamilah.
  3. Al-Nawawiy, Muhyiddin Yahya bin Syarof, Syarh al-Nawawiy ala Muslim. Bairut: Dar Ihya’ al-Turats al-Aroby.
  4. Al-Nawawiy, Muhyiddin Yahya bin Syarof, al-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Qur’an. Bairut: Dar Ibni Hazm.
  5. Al-Romliy, Shiyabuddin, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj. Bairut: Dar al-Fikr.
  6. Al-Suyuthiy, Jalaluddin, al-Hawiy li al-Fatawa. Bairut: Dar al-Fikr.
  7. Ibnu Taymiyyah, Taqiyuddin, Majmu’ al-Fatawa. Saudi Arabiya: Majma’ al-Malik Fahd.
  8. Muslim, Abu al-Hasan al-Qusyairiy al-Naisaburiy, Shohih Muslim. CD: Maktabah Syamilah.


Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "JAWAB TUNTAS DALIL YASINAN DAN TAHLIL MALAM JUM’AT"

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top