Rasulullah SAW bersabda :
إنكم أصبحتم في زمن كثير فقهاؤه قليل قراؤه وخطباؤه قليل سائلوه كثير معطوه العمل فيه خير من العلم ، وسيأتي على الناس زمان قليل فقهاؤه كثير خطباؤه قليل معطوه كثير سائلوه العلم فيه خير من العمل
“Kalian semua (para shahabat) berada pada zaman dimana para fuqoha’ (orang ahli hukum agama) sangat banyak dan sedikit sekali para qurra’ (ahli bacaan Al-Qur’an) dan khutaba’ (ahli ceramah), sedikit yang bertanya dan banyak sekali penjawabnya. Pada zaman itu amal lebih berarti dari pada ilmu. Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana sangat sedikit fuqaha’ dan banyak sekali khutaba’ (pembicara), sedikit yang bisa menjawab dan banyak sekali yang bertanya. Sehingga, pada saat itu ilmu lebih berarti dari pada amal”
Di zaman sekarang betapa mudahnya orang meyampaikan hukum agama dengan seenaknya sendiri atau “ngiro-ngiro” hukum dengan cara mengiyaskan hukum tanpa mengetahui dasar shorih dari al-kubub al-mu’tabaroh.
a hukum fikih setatus pakar-pakar fikih yang ada disekitar kita atau bahkan forum-forum bahtus masa’il sendiri mulai dari PBNU, PWNU, PCNU dan bahtsul masail antar pesantren yang kapasitasnya dihadiri para senior adalah sebatas hikayatul hukmi (menceritakan hukum) atau naqlul hukmi (menuqil hukum) dari pendapat-pendapat ulama yang diambil dari al-kubub al-mu’tabaroh. Maka dari dari itu jangan terlalu tergesa-gesa menjawab hukum agama dengan tanpa melihat keputusan-keputusan yang sudah ada, atau setidaknya sudah melihat langsung dari al-kutub al-mu’tabaroh secara shorih.
Imam Malik Ra berkata :“Tidak ada sesuatu yang aku anggap lebih berat dari pada ketika aku ditanya tentang masalah halal dan haram (hukum fikih), karena ini kategori memutuskan hukum Allah. Dan sungguh aku telah bertemu para ahli ilmu dan ahli hukum fikih di negara kita, sesungguhnya salah satu dari mereka ketika ditanya satu masalah, maka sungguh ia seperti dihampiri kematian. Dan aku melihat orang-orang ahli dizaman kita ini, mereka sama seenaknya sendiri dalam berbicara dan berfatwa. Andaikan mereka mau berhenti sejenak untuk memimirkan keadaannya kelak (pertanggung jawaban diakhirat), niscaya akan mensedikitkan (berhati-hati) dari semua ini (berfatwa)” (Imamu Daril Hijrah Malik Ibni Anas Hal. 31)
Termasuk bentuk kehati-hatian ulama dalam berfatwa adalah sebagaimana yang sampaikan imam Syafi’i Ra : “Sungguh aku menyaksikan bahwa imam Malik telah ditanyai 48 masalah agama. Namun yang 32 masalah dijawab dengan jawaban, “Laa adri” (aku tidak mengetahui)” (Kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 1 Hal. 31)
Nabi Muhammad SAW bersabda :
أَجْرَؤُكُمْ عَلَى الْفُتْيَا أَجْرَؤُكُمْ عَلَى النَّارِ
“Orang paling berani-beraninya berfatwa dari kalian semua adalah orang yang paling berani untuk masuk neraka”
Sebagian ulama berkata : “Apabila telah melewati kepadamu satu masalah agama dan sudah melewati tiga hari, maka jangan engkau (tergesa-gesa) fatwakan kecuali setelah mengkaji kembali permasalahan tersebut” (Al-Fawaid Al-Mukhtaroh Hal. 91)
Semua itu dilakukan karena mereka mengerti bahayanya berfatwa dan kehawatiran terjerumus dalam dalam neraka Allah SWT jika mereka mendustakan hukum-hukum-Nya.
Dalam kitab Imamu Daril Hijrah karya sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Hal. 31 dijelaskan bahwa : “ORANG YANG MINTA FATWA MENJADI TANGGUNGANNYA ORANG YANG MEMBERI FATWA”
Imam Malik berkata :
الْعَجَلَةُ فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنْ الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ
“Tergesa-gesa dalam memberi fatwa (tanpa mengetahui dasarnya) adalah merupakan bagian dari kebodohan dan membuat kebohongan”
Imam Ibnu Mas’ud berkata :
من أفتى الناس في كل ما يستفتونه فهو مجنون
“Barang siapa selalu bisa menjawab setiap masalah yang diajukan oleh manusia berarti termasuk orang gila”
Imam Al-Qosim dan Ibnu Sirin berkata :
لأن يموت الرجل جاهلا خير له من أن يقول ما لا يعلم
“Sungguh seorang laki-laki mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada berbicara hukum yang tidak ia mengerti”
Imam Malik berkata :
من فقه العالم أن يقول : " لا أعلم " ، فإنه عسى أن يهيأ له الخير .
“Termasuk tanda ahli fiqhnya seseorang adalah perkatannya : saya tidak tahu, maka boleh jadi disediakan kebaikan kepadanya ”
Di dalam kitab Al-Adab Al-Syar’iyyah dituturkan bahwa banyak shahabat senior, seperti ibnu Umar, ibnu Mas’ud dan lainnya dan juga para ulama’ senior, seperti imam Malik, Sufyan Tsauri dan lainnya sering menjawab “Laa adri” (saya tidak tahu) ketika dilontarkan pertanyaan kepada para beliau, ketika belum diketahui ketetapan hukum pastinya. Hal tersebut diakukan sebagai bentuk kehati-hatian dan kejujuran ilmiyah, serta untuk mengilangkan sifat egoisme (jawa; isen ora iso jawab) . Yang menjadi pertanyaan, apakah kita berani berkata : “tidak tahu” didepan masyarakat umum ketika kita belum bisa menjawab secara jujur tentang setiap masalah yang ditanyakan kepada kita ?!
Abdurrohman Bin Abi Ya’la (seorang tabi’in yang terkenal) berkata : “Aku bertemu dengan seratus duapuluh shahabat Anshor, tidak satu pun dari mereka mau menceritakan sebuah hadits, kecuali dia bilang : “tentang masalah hadits sebaiknya anda bertanya kepada syekh Fulan, sebab beliau lebih memumpuni”. Dan juga tidak ada satupun yang memberi fatwa kecuali dia bilang : “tentang masalah ini sebaiknya anda meminta fatwa kepada syekh Fulan, karena beliau lebih menguasai” . (Al-Adab Al-Syar’iyyah juz 2 hal. 136)
Semua itu dilakukan karena mereka mengerti bahayanya berfatwa dan kehawatiran terjerumus dalam dalam neraka Allah SWT jika mereka mendustakan hukum-hukum-Nya.
Oleh : Abu Muhammad Naufal Al-Banary
0 Komentar untuk "HATI-HATI DALAM BERFATWA AGAR TIDAK TERJERUMUS KE DALAM NERAKA"