SURGA DAN NERAKA, APAKAH SEKARANG SUDAH ADA? (Menimbang Pandangan MU’TAZILAH dan AHLUS SUNNAH)

SURGA DAN NERAKA, APAKAH SEKARANG SUDAH ADA? (Menimbang Pandangan MU’TAZILAH dan AHLUS SUNNAH)

   
Sebagaimana dimaklumi bahwa surga adalah salah satu tempat kembali kelak diakhirat yang telah disiapkan oleh Alloh untuk orang-orang yang bertaqwa, yakni; orang-orang yang menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Selain surga, Alloh juga menciptakan nerakan yang dipersiapkan untuk orang-orang yang inkar padaNya (baca: kafirin). Semua umat muslim wajib hukumnya meyakini keberadaan surga dan neraka. Mereka yang mengingkari keberadaan surga dan neraka sudah tentu masuk dalam katagori kafir. Karna,  masalah surga dan neraka masuk dalam katagori ‘ajaran agama yang bisa diketahui tanpa melakukan pemikiran mendalam’ (ma’lum min al-din bi al-dloruriy).

    Semua umat muslim dari berbagai komunitas (baca: firoq islamiyyah) meyakini keberadaan surga dan neraka. Sebab, ayat yang menjelaskan tentang keberadaan keduanya merupakan ayat demonstrantif (muhkam). Sehingga tanpa melakukan perenungan mendalampun, seseorang akan dapat bisa memahami dengan mudah kandungan ayat tersebut. Kendatipun demikian, para ulama berbeda pandangan utamanya komunitas Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah tentang ‘apakah sekarang surga dan neraka ada?’.

Menurut sebagai tokoh Mu’tazilah, surga dan neraka hari ini belum diciptakan, keduanya akan diciptaka  oleh Alloh kelak setelah hari kiamat. Pandangan berbeda disampaikan oleh komunitas Ahlus Sunnah dan sebagai tokoh Mu’tazilah. menurut mereka, surga dan neraka sudah diciptakan oleh Alloh swt yang berarti hari ini keduanya sudah ada.

Kedua komunitas ini sama-sama memiliki argumentasi tranferensial (dalil naqliy) maupun argumentasi rasional (dalil aqliy) yang menopang dan mempekokoh pandangan mereka. Sebelum menaganisa kedua pandangan ini, alangkah baiknya kami paparkan argumentasi transferensial maupun rasional dari masing-masing komunitas secara obyektif. Hal ini perlu dilakukan, agar kita tidak terjerumus pada klaim sepihak secara membabi buta yang pada akhirnya menganggap ‘pandangan kolompoknya saja yang benar, sementara pandangan kelompok diluar dirinya salah’, padahal dia sendiri tidak pernah mengkaji argumentasi lawan secara mendalam

Mu’tazilah


Menurut Abi Hasyim al-Juba’iy dan Qodli Abdul Jabbar, surga dan neraka belum diciptakan oleh Alloh, keduanya akan diciptakan setelah hari kiamat, yakni pada saat hari pembalasan. Kedua tokoh ini berpandagan demikian dengan bertendensikan pada argument berikut:

Argumenta Trasferensi (dalil naqliy)

Dalam al-Qur’an surat Al-Qoshohs: 83, Alloh berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأرْضِ وَلا فَسَادًا  
Artinya: Negri akhirat itu, akan kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dibumi. (QS. Al-Qoshohs: 83)

Dalam ayat ini, Alloh secara tegas menyatakan bahwa surga yang merupakan kehidupan akhirat akan diciptakan oleh Alloh untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan membuat kerusakan. Jika kita cermati redaski ayat diatas, kita akan mendapati kata  نَجْعَلُهَا yang dalam gramatika bahasa arab dinamakan fi’il mudlori’. yakni kata kerja yang menjukkan waktu akan datang.

Sekedar untuk diketahui, kalimat fi’il (kata kerja) dalam bahasa arab ada tiga macam; fi’il madli, yakni kata kerja lampau. fi’il amar, yakni kata perintah. Dan fi’il mudlori’, yaitu kata kerja sedang atau akan dikerjakan. Pada dasarnya, fi’il mudlori’ menunjukkan waktu ‘akan datang’, kecuali ada indicator yang mengarahkan kalimat tersebut menunjukkan waktu ‘sedang dikerjakan’. kata  نَجْعَلُهَا dalam ayat diatas tidak memiliki indicator yang mengarahkan pada makna ‘sedang’, sehingga ayat tersebut tetap beramakna ‘akan datang’. dengan demikian bisa disimpulkan, surga dan neraka belum diciptakan oleh Alloh. andaikan keduanya sudah diciptakan, tentulah Alloh menggunakan kata  جَعَلْتُهَا yang merupakan kata kerja lampau.

Ayat lain yang dijadikan dasar oleh kedua tokoh Mu’tazilah diatas berupa firman Alloh dalam surat al-Ro’du: 35

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ أُكُلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا
Artinya: perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa iala [seperti taman] yang mengalir sungai-sungai didalamnya, buahnya tak henti-henti sedang naungannya [demikian pula]. (QS. Al-Ro’du: 35)

Terkait ayat ini, tokoh Mu’tazilah yang bernama Abdul Jabbar –sebagaimana dikutip oleh imam Khozin- berkata:

واستدل القاضي عبد الجبار المعتزلي بهذه الآية على أن الجنة لم تخلق بعد . قال : ووجه الدليل أنها لو كانت مخلوقة لوجب أن تفنى وينقطع أكلها لقوله تعالى { كل شيء هالك إلا وجهه } فوجب أن لا تكون الجنة مخلوقة لقوله : أكلها دائم يعني لا ينقطع قال ولا ينكر أن تكون في السموات جنات كثيرة تتمتع بها الملائكة ، ومن يعد حياً من الأنبياء والشهداء وغيرهم على ماروي إلا أن الذي نذهب إليه أن جنة الخلد لم تخلق بعد. تفسير الخازن - (ج 3 / ص 21)
Artinya: Qodli Abdul Jabbar al-Mu’taziliy menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa surga belum diciptakan. Dia berkata: sudut pandang dalil [ayat diatas], andaikan surga telah diciptakan, maka tentulah makanan surga akan binasa dan terputus (tidak kekal), sebab [dalam ayat lain] Alloh berfirman: “segala sesuatu akan sirna kecuali Alloh”. Maka sudah dipastikan surga belum  diciptakan, sebab [dalam ayat lain] Alloh berfirman: “buahnya tak henti-henti”, yakni kekal dan tidak terputus-putus. Beliau melanjutkan, tidak dapat diinkari bahwa dilangit terdapat banyak surga yang dinikmati oleh para malaikat dan orang-orang yang dinyatakan hidup [dalam al-qur’an] (sekalipun jasad mereka sudah meninggal), baik dari golongan para nabi, orang yang mati syahid maupun lainnya. Namun, kami berpendapat, bahwa surga yang kekal belum diciptakan. (Tafsir al-Khozin: III, 21)

    Dalam ayat diatas Alloh memberikan informasi kepada kita bahwa makanan (buah-buahan) yang berada dalam surga akan kekal selamanya dan tidak akan pernah sirna. Andaikan surga sudah diciptakan, maka tentulah bertentagan dengan firman Alloh yang lain dalam surat al-Qoshosh: 88 yang berbunyi; “segala sesuatu akan rusak kecuali Alloh”. Dan sudah pasti, tidak mungkin terjadi pertentangan antara ayat satu dengan ayat yang lain. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa surga pada hari ini belum diciptakan.

Argumentasi Rasional (dalil aqliy)   


Selain mengajukan argumentasi transferensial, mereka juka mengajukan argumentasi rasional untuk mendukung pandangan mereka. Menurut pandangan mereka, menciptakan surga dan neraka sebelum hari pembalasan adalah tindakan yang tidak beguna dan perbuatan sia-sia, yang demikian ini tentulah sangat tidak pantas dilakukan oleh Alloh dzat yang maha bijaksana.

Mayoritas Ulama


Menurut ulama Ahlis Sunnah dan sebagai tokoh Mu’tazilah seperti Abi Ali al-Juba’iy, Abi al-Hasan al-Bashriy dan Basyr bin al-Mu’tamir, surga dan neraka telah diciptakan oleh Alloh. Hal ini didasarkan pada beberapa argument, antara lain:

 فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Artinya:  peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya berupa manusia dan batu, yang dipersiapkan untuk orang-orang kafir. (al-Baqoroh: 24)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:  dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Ali Imron: 133)

Dalam dua ayat ini, Alloh menggambarkan surga dan neraka. Surga dipersiapkan oleh Alloh untuk orang-orang yang bertaqwa, sedang neraka dipersiapkan oleh Alloh untuk orang-orang yang inkar kepadanya (kafir). Kalau kita amati kedua ayat diatas, kata yang muncul adalah  أُعِدَّتْ yang dalam tata bahasa arab disebut fi’il madi’. yakni kata kerja yang menjukkan waktu lampau. Sehingga dengan demikian kalimat tersebut memiliki arti ‘telah disiapkan’. Dengan demikian bisa ditarik benang merah, bahwa surga maupun neraka telah diciptakan.

Hal ini selaras dengan pernyataan imam Khozin dalam tafsirnya

{ أعدت للمتقين } أي هيئت للمتقين وفيه دليل على أن الجنة والنار مخلوقتان الآن . تفسير الخازن - (ج 1 / ص 297)
Artinya:  (yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa). Yakni, telah disiapkan untuk orang yang bertaqwa. Ayat ini menjadi dalil bahwa surga dan neraka sekarang telah diciptakan. (Tafsir al-Khozin: I, 297)

Selain kedua ayat diatas, mereka memperkuat pandangan mereka dengan kisah tentang nabi adam yang tercantum dalam al-Qur’an. Dalam surat al-A’rof: 19, Alloh berfirman:

وَيَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ (19)
Artinya: hai Adam, diamilah olehmu dan istrimu surga ini,. (QS. Al-A’rof: 19)

Dalam ayat diatas, Alloh memerintahkan nabi Adam dan Hawa untuk menempati surga, sangat mustahil dan tidak masuk akal jika Alloh memerintahkan nabi Adam dan Hawa untuk menempaati surga sementara surganya belum ada. Dengan memerintahkan nabi Adam dan Hawa berada dalam surga, maka sudah barang tentu surga dan neraka telah diciptakan olehNya.

    Selain memaparkan argumentasi berupa ayat al-Qur’an, ulama-ulama diatas memperkuat pandangannya dengan menggunakan hadits nabi. Dalam sebuah hadits shohih riwayat Bukhoriy, Rosululloh bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ. صحيح البخارى - (ج 11 / ص 390)
Artinya: dari Abu Huroiroh, dia berkata, Rosul bersabda: Alloh berfirman, aku telah menyiapkan [surga] untuk hamba-hambaku yang sholih, yang [ukuran keindahannya] tidak pernah dilihat mata, terdengar telinga dan terbesit dalam hati manusia. (HR. Bukhori)

Dalam sebuah hadits qudsi, Alloh memberikan informasi melalui lisan nabiNya, bahwa Dia telah telah menyiapkan surga nan indah bagi hambanya-hambanya yang sholih. Jika kita telisik redaksi yang digunakan dalam hadits diatas, kata yang digunakan oleh nabi Muhammad berupa lafadz أَعْدَدْتُ yang dalam ilmu nahwu dinamakan fi’il madi’, yang berarti, surga telah diciptakan oleh Alloh.

Analisis


Kisah Nabi Adam dan Hawa

    Dalam Pandangan Abi Hasyim al-Juba’iy dan Qodli Abdul Jabbar, argumentasi berupa kisah tentang nabi Adam dan Hawa yang diperintahkan oleh Alloh untuk menempati surga, tidak bisa dijadikan dalil bahwa surga telah diciptakan. Sebab surga yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ‘taman yang ada didunia’, bukan surga yang kelak akan ditempati oleh orang-orang yang bertaqwa sebagai balasan atas amal sholih yang telah mereka lakukan.

Kedua tokoh ini berpandangan demikian, didasarkan pada firman Alloh dalam surat Al-Ro’du: 35, dimana Alloh dalam ayat ini memberikan gambaran, bahwa makanan surga bersifat kekal. Andaikan surga telah diciptakan, maka tentulah makanan surga akan sirna, sebab dalam ayat lain Alloh berfirman: segala sesuatu akan sirna kecuali dirinya (kullu syai’in halikun illa wajhah). Jika surga telah diciptakan, maka tentulah terjadi paradoks antara ayat satu dengan yang lain, dan ini tidak mungkin terjadi dalam firman Alloh. Karna. Dengan adanya paradoks antara ayat satu dengan yang lain, orsinalitas al-Qur’an sebagai wahyu dari Alloh perlu kiranya dipertanyakan ulang.

Solusi yang ditawarkan oleh Abi Hasyim al-Juba’iy dan Qodli Abdul Jabbar untuk menghindari kontradiksi ayat al-Qur’an adalah dengan memahami kata ‘jannah’ dalam kisah Adam dan Hawa sebagai ‘salah satu taman  didunia’, bukan surga yang kelak akan ditempati setelah kiamat tiba. dengan dipahami demikian, maka kontradiksi dapat terhindarkan.

Namun, solusi yang ditawarkan kedua tokoh Mu’tazilah ini dirasa kurang memuaskan oleh ulama Ahlus Sunnah dan sebagian tokoh Mu’tazilah yang lain. Pasalnya, pada saat nabi Adam dan Hawa melanggar larangan Alloh untuk tidak mendekati pohon terlarang, Alloh memerintahkan mereka untuk turun dari surga dengan berfirman ihbithu, (turunlah kalian semua). Andaikan surga yang dimaskud dalam ayat tersebut berupa ‘salah satu taman  didunia’ sebagaimana yang diasumsikan Abi Hasyim al-Juba’iy dan Qodli Abdul Jabbar, maka tentulah Alloh akan berfirman ‘keluarlah kalian semua’ (ukhruju). Dengan digunakannya redaksi ihbithu dalam ayat tersebut, maka sudah cukup untuk memporak porandakan asumi kedua tokoh tersebut bahwa maskud ‘al-jannah’ adalah ‘salah satu taman  didunia’.

Polemik Redaksi أُعِدَّتْ dalam al-Qur’an
Salah satu dalil yang dijadika pijakan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan telah terciptanya surga dan neraka adalah ayat أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ dan أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ dimana dalam kedua ayat ini menggunakan lafadz أُعِدَّتْ dengan bentuk madli (kata kerja lampau), sehingga diambil kesimpulan bahwa neraka dan surga telah diciptakan oleh Alloh.

Pemahaman  yang diajukan oleh ulama Ahlus Sunnah ditentang oleh Mu’tazilah. menurut kelompok Mu’tazilah, digunakannya redaksi  أُعِدَّتْ dengan bentuk madli (kata kerja lampau) dalam ayat diatas tidak bisa serta merta dipahami bahwa surga dan neraka telah diciptakan. Alloh menggunakan redaksi madli dalam kedua ayat ini bukan berarti bahwa surga maupun neraka telah diciptakan, namun untuk menunjukkan bahwa kedua pasti akan diciptakan oleh Alloh kelak setelah hari kiamat (tahaqquil wuqu’).


SURGA DAN NERAKA, APAKAH SEKARANG SUDAH ADA? (Menimbang Pandangan MU’TAZILAH dan AHLUS SUNNAH)

  
 Namun, pandangan Mu’tazilah ini dibantah kembali oleh ulama Ahlus Sunnah. menurut mereka, memahami kedua ayat diatas secara metaforik (majaz), -dengan mengartikan keduanya ‘akan diciptakan’, padahal menggunakan redaksi madli (lampau)- merupakan tindakan ceroboh. sebab, tindakan Mu’tazilah yang memahami ayat diatas secara metaforik (majaz) dan meninggalkannya makna hakikinya tidaklah diperbolehkan kecuali dalam keadaan sangat mendesak.

Terkait hal ini, imam al-Qori dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar menyatakan:

وهذه الصيغة موضوعة للمضي حقيقة فلا وجه للعدول عنها إلى المجاز إلا بصريح آية، أو صحيح دلالة
Artinya: bentuk (shighoh) kalimat ini secara hakikat menunjukkan makna lampau, maka tindak ada alasan untuk pindah dari makna hakiki menuju makna metaforik (makna akan) keluali dengan didasarkan ayat yang tegas [bahwa kalimat tersebut bermakna metaforik] atau pemahaman yang benar. (Syarh al-Fiqh al-Akbar: 165)

Dengan demikian, argumentasi Mu’tazilah yang memahami kedua ayat diatas dengan makna metaforik tanpa disertai dengan dalil yang shorih, dan meninggalkan makna hakikinya adalah pemahaman tanpa dasar, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan.

Harmonisasi ayat   أكلها دائم وظلها dan كل شيء هالك إلا وجهه

Upaya Mu’tazilah mempertentangankan ayat   أكلها دائم وظلها dengan ayat كل شيء هالك إلا وجهه dinilai ulama Ahlis Sunnah sebagai kesalahan mengoprasionalkan ayat. Jika mereka mengakui bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan ayat satu dengan yang lain, maka yang harus mereka lakukan adalah mengharmoniskan kedua ayat diatas lalu mengambil konklusi dengan cara reftriksi (takhish) bukan malah mempertentangkannya.

Menurut ulama Ahlis Sunnah, ayat أكلها دائم وظلها memiliki arti, makanan surga tidak pernah terputus. setiap kali dimakan, Alloh akan menggantikannya dengan yang baru, sehingga tidak pernah habis. Bukan seperti yang dipahami kaum Mu’tazilah yang yang berpandangan bahwa  ‘makanan surga kekal’. Sebab pemahaman yang ditawarkan oleh Mu’tazilah merupakan konsep irasional, pada saat makanan surga dimakan, sudah tentu makanan itu akan sirna, hanya saja Alloh menggantinya dengan yang baru sehingga bisa dikatakan makanan surga tidak pernah habis sebagaimana dinyatakan oleh al-Uryaniy sebagai berikut:

"المراد بدوام الأكل أنه إذا أفنى منه شيء جيء ببدله، لا أنه يبقى بعينه، وذلك لا ينافي الهلاك لحظة"
Artinya: maksud kekalnya makanan surga adalah, tatkala makanan itu sirna (habis), Alloh menggantinya, bukan berarti ‘bendanya kekal tidak sirna’. Yang demikian ini tidaklah menafikan sirna (habis) dalam waktu sesaat.  (Khirul Qolaid Syarh Jawahir al-Aqoid: 183)

Beliau lalu melanjutkan:

"إن أكل الجنة دائم بمعنى لا ينقطع، كلما فني شيء منه حدث عقيبه مثله، لا بمعنى أنه فان بالأكل، لأن الفاني بالأكل لا يوصف بالدوام، هكذا ينبغي أن يفهم هذا المقام، فإنه من مزالق الأقدام"

Artinya: makanan surga kekal dalam arti tidak teputus. Setiap kali makanan itu sirna (habis), sesaat setelah itu Alloh menggantinya, bukan berarti ‘makanan surga habis karna dimakan [lalu tidak ada penggantinya]. Sebab, ‘makanan yang habis karna dimakan [lalu tidak ada penggantinya], tidak bisa disebut kekal. Yang demikian ini haruslah dipahami, karna banyak sekali orang-orang tergelincir [dalam kesalahan] karna masalah ini. (Khirul Qolaid Syarh Jawahir al-Aqoid: 183)


Dengan penjelasan ini, maka kesimpulan kalangan Mu’tazilah bahwa surga dan neraka belum diciptakan dengan berdalil ayat diatas terbantahkan dengan sendirinya.

Adapun ayat كُلُّ شَىْء هَالِكٌ masuk katagori ayat umum yang dibatasi cakupan maknanya (‘am makhsush). Secara literal, ayat bermakna umum, yakni ‘segala sesuatu akan binasa’, namun ada ayat lain yang membatasi cakupan maknanya, yakni :

﴿فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ إِلاَّ مَنْ شَاءَ اللَّهُ﴾ (الزمر: ٦٨)
Artinya: maka binasalah semua yang ada dibumi dan dilangit, kecuali apa-apa yang dikehendaki oleh Alloh. (QS. Al-Zumar: 68)

Terkait ayat diatas, imam Ibnu Abbas mengatakan:

الموجودات المحدثات التي لا تفنى سبعة: اللوح، والقلم، والعرش، والكرسي، والجنة، والنار، والأرواح، ومن هذه السبعة ما وافقت المعتزلة: كالعرش، والكرسي، والأرواح، واللوح، فلا حجة لهم في الآية "

Artinya: benda-benda baru [ada permulaannya] yang tidak  pernah sirna ada tujuh, lauh [mahfudz], al-qolam, arsy, kursiy, surga, neraka dan ruh. (al-Nukat al-Mufidah Syarh al-Khutbah wa al-Aqidah: 133)

Surat al-Zumar: 68 beserta penafsiran Ibnu Abbas diatas membatasi cakupan makna ayat كُلُّ شَىْء هَالِكٌ . dengan demikian, ayat tesebut memiliki arti ‘segala ciptaan Alloh akan sirna, kecuali yang dikehendakiNya’. Adapun ciptaan yang dikehendaki oleh Alloh tidak sirna sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas adalah; ‘lauh [mahfudz], al-qolam, arsy, kursiy, surga, neraka dan ruh’. surga dan neraka masuk katagori ‘benda yang dikecualikan’ oleh Alloh tidak akan sirna pada hari kiamat.

Dengan paparan-paparan diatas, maka sudah cukup kiranya bantahan terhadap kelompok-kelompok Mu’tazilah yang berpendapat surga dan neraka belum dibuat. Dengan demikian, sudah tidak alasan lagi mengatakn surga dan neraka belum diciptakan.
   
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "SURGA DAN NERAKA, APAKAH SEKARANG SUDAH ADA? (Menimbang Pandangan MU’TAZILAH dan AHLUS SUNNAH)"

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top