Hampir setiap tahun, kaum
muslimin di Indonesia disibukkan dengan masalah “kapan memulai puasa dan kapan
berhari raya?”. Para pemimpin dan pengurus ormas-ormas dan lembaga-lembaga
Islam sibuk berijtihad untuk memastikan kapan puasa tahun itu dimulai dan
berakhir, sementara masyarakat dibingungkan dengan berbagai keputusan yang
dibuat oleh ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam yang terkadang keputusannya
berbeda-beda. Bahkan akhir-akhir ini masyarakat sering dikacaukan oleh seruan
untuk memulai puasa atau berhari raya dengan berpedoman pada awal puasa dan
idul fitri di Saudi Arabia.
Tidak jarang karena
perbedaan-perbedaan tersebut, timbul kesalahpahaman dan gesekan-gesekan
diantara masyarakat. Masing-masing menganggap benar apa yang diputuskan oleh
ormas atau lembaga yang diikutinya dan menganggap salah terhadap yang lain,
tanpa mereka tahu apa sebetulnya yang dijadikan patokan sebagai pentuan awal
dan akhir puasa oleh masing-masing ormas dan lembaga-lembaga Islam tersebut.
Dalam islam, sebagaiman yang
dijelaskan dalam kitab-kitab klasik, ada tiga alternatif metode untuk
menetapkan awal suatu bulan qomariyah, yaitu ru’yah, hisab dan
istikmal.
Ru’yah adalah melihat hilal
(bulan tanggal pertama), artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau
tidaknya hilal yang bisa dilihat mata baik secara langsung maupun
menggunakan alat bantu. Sedangkan Hisab adalah perhitungan berdasarkan
teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga
diyakini awal bulan atas dasar perhitungan teoritik itu sama dengan realitas
alam. Sedangkan Istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan
sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.
Perbedaan tentang awal Ramadlan
dan Syawal berpangkal pada ketidaksamaan hasil yang diperoleh melalui
metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab. Bagaimana
kedudukan metode-metode tersebut dalam penetepan hari yang sangat penting ini?
Kebanyakan ulama salaf
berpendapat bahwa penetapan (itsbat) awal Romadlon dan Syawal hanya
boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan,
karna terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah
al-Mustarsyidin:108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah
metode tersendiri melainkan metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.
Metode dan prosedur ini mengikuti
langsung hadits shohih riwayat Bukhori
dan Muslim sebagai berikut:
« صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلاَثِينَ »
Artinya: berpuasalah
kalian semua karena melihat hila, dan berhentilah berpuasa karna melihat hilal,
apabila kalian tidak melihatnya karna mendung, maka sempurnakanlah bulan
Sya’ban sampai tiga puluh hari. (HR. Bukhori dan Muslim)
Pendapat yang hanya mengakui ru’yah
(dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa
dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki,
Syafi’iy dan Hanbali). Hanya saja kalangan Syafi’iy masih mengakomodasi metode
hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-Munajjimun)
itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya, dalam pendapat
inipun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat
secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.
Jadi, bagaimanakah kedudukan hisab
sebenarnya? Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan
(secara teoritik) apakah ru’yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil
akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.
Ketentuan ini tidak perlu
merepatkan orang-orang, karna ru’yah tidak harus dilakukan sendiri. Rosululloh
saw saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. Sekedar untuk
diketahui, Baduwi dalam literature Arab cenderung mengandung pengertian: orang
awam.
Jadi yang perlu dilakukan oleh umat muslim –khususnya
di Indonesia- hanya mengikuti informasi proses ru’yah yang banyak
dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi.
Sebagai catatan akhir, hasil
ru’yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah
maupun negara terdekatnya saja. (al-Fiqh al-Manhaji: I, 336). Maka, awal
Ramadlan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi misalnya. Karna
secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu
mungkin saja memang berbeda.
Refrensi
Al-Bukhoriy,
Abu Abdillah, Shohih al-Bukhoriy. Bairut: Dar al-Fikr.
Ba ‘Alawiy,
Sayyid Abdur Rohman, Bughyah al-Mustarsyidin. Bairut: Dar al-Fikr.
Mushtofa
al-Khin, Mushtofa al-Bugho, Ali al-Syirbajiy, al-Fiqh al-Manhaji.
Damaskus: Dar al-Qolam


0 Komentar untuk "Ru'yah dan Hisab, Manakah Yg Benar...??"