IMAM SYAFI'I MELARANG 'TAHLILAN', BENARKAH?

IMAM SYAFI’I MELARANG TAHLILAN, BENARKAH?
(Analisis Pendapat Imam Syafi’iy)

Salah satu tradisi di Indonesia pada saat ada salah seorang meninggal dunia, keluarga duka, sanak saudara dan para tetangga akan mengadakan doa bersama selama tujuh hari. Acara ini diselenggarakan sebagai media untuk mengirimkan pahala kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Tradisi tujuh harian (jawa: deresan) sudah menjadi tradisi yang mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. 

Namun belakangan ini, ada sebagian umat muslim yang memperrtanyakan dan menghujat eksistensinya. Menurut mereka, tradisi tujuah harian merupakan ibadah baru hasil kreasi manusia yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi (baca: bid’ah).

Disamping itu, menurut asumsi mereka imam Syafi’iy sendiri selaku pendiri madzhab Syafi’iy yang menjadi tumpuan mayoritas umat islam di Indonesia melarang acara tujuh harian sebagaimana tertuang dalam kitab al-Umm.

الأم - (ج 1 / ص 467)
وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر. 

Artinya: Aku benci (menghukumi makruh) Ma’tam , yakni berkumpul-kumpul [keluarga duka], sekalipun tidak disertai dengan tangisan. Karna yang demikian itu dapat memperbaharui kesedihan dan membebani biaya disamping adanya atsar didepan yang melarang. (Al-Umm: I, 467)

Pernyataan imam Syafi’iy diatas, oleh beberapa orang dipahami secara serampangan bahwa imam Syafi’iy melarang tahlilan, karna ada unsur berkumpul-kumpul dirumah duka. Benarkah imam Syafi’iy melarang tahlilan sebagaimana yang mereka pahami.

Untuk bisa memahami pendapat seorang ulama sekaliber imam Syafi’i dengan baik, tidak bisa hanya dipelajari hanya dalam waktu sebulan dua bulan, apalagi hanya mengandalkan terjemah. Dia harus mempelajarinya dengan seksama lalu membandingkan pemahamannya dengan pemahaman ulama-ulama Syafi’iyyah yang menjadi penerus beliau. Karna ulama-ulama inilah yang paling memahami apa dan bagaimana maksud pernyataan imam Syafi’iy.

Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu Syarh al-Muhadzzab menjelaskan dengan detail perihal pernyataan imam Syafi’iy ditas; 

المجموع - (ج 5 / ص 306)
(واما) الجلوس للتعزية فنص الشافعي والمصنف وسائر الاصحاب علي كراهته ونقله الشيخ أبو حامد في التعليق وآخرون عن نص الشافعي قالوا يعنى بالجلوس لها ان يجتمع اهل الميت في بيت فيقصدهم من اراد التعزية قالوا بل ينبغى ان ينصرفوا في حوائجهم فمن صادفهم عزاهم ولا فرق بين الرجال والنساء في كراهة الجلوس لها صرح به المحالي ونقله عن نص الشافعي رحمه الله وهو موجود في الام قال الشافعي في الام وأكره الماثم وهى الجماعة وان لم يكن لهم بكاء فان ذلك يجدد الحزن ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الاثر هذا لفظه في الام وتابعه الاصحاب عليه 

Artinya: adapun duduk agar dita’ziahi, yang demikian itu telah dijelaskan oleh imam Syafi’iy dan para muridnya bahwa hukumnya makruh. pernyataan ini dikutip oleh Syaikh Abi Hamid dalam al-Ta’liq dan ulama-ulama lainnya dari pernyataan imam Syafi’i sendiri (nash al-Syafi’iy). Para ulama tersebut menjelaskan, yang dimaksud dengan duduk untuk dita’ziahi adalah berkumpulnya keluarga duka dalam rumah dengan tujuan agar mereka dita’ziyahi. Para ulama tersebut mengatakan, sebaiknya mereka memenuhi dan melaksanakan kebutuhan mereka, kalau kebetulan bertemu dengan mereka, maka dita’ziahi. Dalam hal kemakruhan duduk [agar dita’ziahi], tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh imam Al-Mahamiliy dengan mengutip pernyataan imam Syafi’iy. Pernyataan imam Syafi’iy tersebut terdapat dalam kitab al-Umm. Imam Syafi’iy berkata: Aku benci (menghukumi makruh) Ma’tam , yakni berkumpul-kumpul [keluarga duka], sekalipun tidak disertai dengan tangisan. Karna yang demikian itu dapat memperbaharui kesedihan dan membebani biaya disamping adanya atsar didepan yang melarang. Inilal redaksi dalam kitab al-Umm yang kemudian diikuti oleh para murid imam Syafi’iy. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab: V, 306) 

Maskud dari pernyataan imam Syafi’iy: ‘Aku benci (menghukumi makruh) Ma’tam, yakni berkumpul-kumpul [keluarga duka], sekalipun tidak disertai dengan tangisan’ sebagaimana dijelaskan oleh imam Nawawi diatas, makruh hukumnya keluarga duka berkumpul tempat khusus agar dita’ziyahi oleh orang lain. Pernyataan ini hanya berlaku untuk keluarga duka saja, bukan untuk kerabat, tetangga maupun orang lain. Tidak ada seorang ulamapun yang memahami pernyataan diatas, bahwa imam Syafi’i melarang tahlilan. Ini murni yang pemahaman keliru –kalau tidak mau disebut ngawur-.

Pemahaman mereka yang salah ini –atau mungkin sengaja disalah pahami- kemudian disampaikan kepada orang lain yang tidak bisa baca kitab, orang-orang inipun mengikuti dan mengamini apa yang ia dengar tanpa melakukan kajian ulang  yang pada akhirnya akan menyalahkan tradisi tahlilan yang sudah menjadi  masyarakat Indonesia, karna ada unsur berkumpul didalamnya.

Sebagaimana dijelaskan diatas, hukum makruh bagi keluarga duka berkumpul ditempat khusus itu berlaku jika keluarga duka berkumpul untuk dita’ziahi. Jika mereka hanya berkumpul semata tanpa ada tujuan agar dita’ziahi oleh orang lain, maka hukum makruh tidak berlaku sebagaimana diungkapkan oleh Syaikah Zakariyya al-Anshori berikut:

أسنى المطالب  - (ج 1 / ص 335)
( وَيُكْرَهُ الْجُلُوسُ لَهَا ) بِأَنْ يَجْتَمِعَ أَهْلُ الْمَيِّتِ بِمَكَانٍ لِيَأْتِيَهُمْ النَّاسُ لِلتَّعْزِيَةِ ؛ لِأَنَّهُ مُحْدَثٌ ، وَهُوَ بِدْعَةٌ ؛ وَلِأَنَّهُ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُعَزَّى ، وَأَمَّا مَا ثَبَتَ { عَنْ عَائِشَةَ مِنْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَهُ قَتْلُ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٍ وَابْنِ رَوَاحَةَ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْحُزْنُ } فَلَا نُسَلِّمُ أَنَّ جُلُوسَهُ كَانَ لِأَجْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ النَّاسُ لِيُعَزُّوهُ

Artinya: Makruh hukumnya [keluarga duka] duduk-duduk agar dita’ziahi. Yakni berkumpulnya keluarga duka dalam satu tempat agar orang-orang datang kepadanya untuk berta’ziah. Sebab yang demikian ini merupakan hal yang baru dan statusnya bid’ah. [disisi lain] yang demikian ini dapat menyedihkan kembali  dan membebani keluarga yang dita’ziahi. Adapun hadits “dari Aisyah: Rosululloh saw pada saat mendengar terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Ibnu Rowahah beliau duduk dimasjid dengan terlihat kesedihan wajah beliau”. Nabi Muhammad duduk [dimasjid] bukan agar didatangi orang lain untuk menta’ziahi beliau. (Asna al-Matholib: I, 335)

Duduk ditempat khusus jika tidak bertujuan agar didatangi oleh orang lain untuk dita’ziahi, maka tidaklah mengapa, sebagaimana nabi Muhammmad duduk dimasjid pada saat mendengar terbunuhnya  Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Ibnu Rowahah

Penting untuk diketahui, ta’ziah dalam terminology syariah tidaklah seperti ta’ziah yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, dimana keluarga, sanak family dan tetangga datang pada keluarga duka dengan membawa beras, uang dan sebagainya. Yang demikian itu bukanlah ta’ziah yang dimaksud dalam termonologi agama. 

Ta’ziah dalam terminologi syariah diartikan oleh para ulama dengan: “datang kepada keluarga duka dan meminta kepada mereka sabar atas musibah (kematian salah seorang keluarga) yang menimpa mereka, menjelaskan kepada mereka besarnya pahala jika mereka bersabar, melarang mereka untuk mengeskpresikan rasa tidak ridlo terhadap ketentuan Alloh serta mendoakan mayyit agar mendapat ampunan dari Alloh dan keluarga yang ditimpa musibah diberi kesabaran”. 

Inilah makna ta’ziah yang dimaskud oleh para Ulama’, sebagaimana dijelaskan oleh Syarih al-Muhaqqif Jalaluddin al-Mahalliy berikut:

حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 1 / ص 401)
وَمَعْنَاهَا الْأَمْرُ بِالصَّبْرِ وَالْحَمْلُ عَلَيْهِ بِوَعْدِ الْأَجْرِ وَالتَّحْذِيرُ مِنْ الْوِزْرِ بِالْجَزَعِ ، وَالدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِالْمَغْفِرَةِ وَلِلْمُصَابِ بِجَبْرِ الْمُصِيبَةِ 

Artinya: Makna ta’ziah adalah meminta keluarga duka untuk bersabar dan menjelaskan kepada mereka pahala bagi orang yang sabar, serta melarang mereka melakukan dosa dengan berbuat cemas (mengekspresikan rasa tidak ridlo terhadap ketentuan Alloh, seperti mencakar-cakar pipi, merobek baju dll), mendoakan mayyit agar diberi ampunan oleh Alloh dan mendoakan kelaurga yang tertimpa musibah agar diberi ketabahan. (Hasyiyata al-Qolyubiy wa Umairoh: I, 401)

Taz’iah yang seperti jarang sekali –atau bahkan tidak pernah ditemukan- dilakukan oleh tetangga, dan sanak family yang jauh. bahkan kelaurga dekatnyapun jarang melakukan ta’ziah yang demikiian ini.  

Ketentuan lain ‘duduk ditempat khusus’ yang dihukumi makruh oleh para ulama, jika tidak menjadikan pandangan negative masyarakat kepada keluarga duka. Jika dengan tidak duduk-duduk masyarakat akan menilai keluarga duka melakukan hal yang negative, misalnya dinilai masyarakat sebagai ekspresi ketidaksenangan keluarga duka terhadap orang-orang yang hadir kesana, maka duduk hukumnya diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh imam Syarwaniy berikut: 

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 3 / ص 176)
وَيُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الِاجْتِمَاعُ بِمَكَانٍ لِتَأْتِيَهُمْ النَّاسُ لِلتَّعْزِيَةِ ا هـ قَالَ ع ش .
وَيَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى عَدَمِ الْجُلُوسِ ضَرَرٌ كَنِسْبَتِهِمْ الْمُعِزِّي إلَى كَرَاهَتِهِ لَهُمْ حَيْثُ لَمْ يَجْلِسْ لِتَلَقِّيهمْ وَإِلَّا فَتَنْبَغِي الْكَرَاهَةُ بَلْ قَدْ يَكُونُ الْجُلُوسُ وَاجِبًا إنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ لَوْ لَمْ يَجْلِسْ ذَلِكَ ا هـ 

Artinya: Makruh hukumnya keluarga duka berkumpu dalam satu tempat agar orang-orang datang kepadanya untuk berta’ziah. [dikutip dari penjelasan] Ali Syabromullisiy. Selayaknya ketentuan diatas berlaku jika tidak menimbulkan hal negative apabila keluarga duka tidak duduk-duduk, misalnya orang-orang akan menilai keluarga duka tidak senang dengan kedatangan mereka disaat keluarga duka tidak duduk untuk menemui orang-orang yang datang. kalau tidak demikian, maka duduk [agar ditaiziahi oleh orang lain] hukumnya makruh. bahkan bisa duduk-duduknya keluarga duka bisa menjadi wajib jika ia punya praduga kuat akan menimbulkan penilaian negative pada mereka. (Tuhfah al-Muh

taj fi Syarh al-Minhaj: III, 176)


Dengan penjelasan para ulama-ulama besar madzhab Syafi’iy diatas, masihkan anda percaya dengan pernyataan orang yang menjadikan pernyataan imam Syafi’iy diatas sebagai dalil melarang tahlilan?

Semoga anda tidak salah mempercayai orang…..???



Bagikan :
+
Previous
Next Post »
8 Komentar untuk "IMAM SYAFI'I MELARANG 'TAHLILAN', BENARKAH?"

Kalau bukan bid'ah berarti sunnah. Berarti syariat. Berpahala. Sebaliknya berdosa bila tidak dilakukan. Tak perlu istighfar. Tak terancam neraka.

kalaupun tidak melarang, apakah imam syafii mengajarkan untuk melakukan tahlilan?

"Kalau bukan bid'ah berarti sunnah"
Sunnah Yang Anda Maksud, Sunnah Dalam Terminologi Apa Fiqih, Hadits dan Apa Tasir? Karna Setiap Bidang Ilmu Memiliki Isitlahnya Sendiri.


"kalaupun tidak melarang, apakah imam syafii mengajarkan untuk melakukan tahlilan?"


Perlu Diketahaui Sebelumnya, Dalam Tahlilan Ada Beberapa Amaliyah Yang Tidak Bisa Dicampuradukkan Hukumnya Antar satu Dengan Yg Lain. Amaliyah Yang Biasa Dilakukan Dalam Tahlil Antara Lain

(1) Membaca Fatihah Kepada Nabi, Sahabat Dll
(2) Menghususkan Bacaan al-Qur'an
(3) Membaca al-Qur'an Dengan Suara Keras
(4) Membaca Al-Qur'an Bersama-Sama
(5) Menghususkan Bacaan Dzikir
(6) Membaca Dzikir Dengan Suara Keras
(7) Membaca Dzikir Bersama-Sama
(8) Mengkhusukan Hari
(9) Berdoa Agar Pahalanya Disampaikan Pada Mayit
(10) Memberikan Hidangan

10 Amaliyah Ini Memiliki Hukum Sendiri-Sendiri Yang Tdak Bisa Dicampur Aduk Antar Satu Dg Yg Lain. Dalam Tahlilan Tidak Bisa Di Hukumi Tunggal, Karna Banyak Varian Amaliah.

Saya Sudah Menulis Buku Khusu Yang Mengulas Masalah Tahlilan Dan Berbagai Hal Yng BErkaitannya Dengannya Dengan Suduk Pandat Empat Madzhab Lengkap Dengan Dalilnya Masing-Masaing

Masalah diatas itu mengenai taziah bukan tahlilan jadi imam syafii beserta ulama syafiiyah lainnya hanya mensyarahi masalah taziahnya jadi bukan tahlilan karema kalau tahlilan seprti yang kita lihat diaitu banyak amalannya yang mana perlu merujuk kepada dali2 yang khusus.

Benar Sekali, Pernyataan imam Syafi'iy Diatas Memang Dalam Konteks Takziah, bukan Dalam Konteks Tahlilan. Namun Beberapa Kalangan Menggunakan Teks Diatas Untuk Melarang Tahlilan Yang Biasa Dilakukan oleh Masyarakat Muslim Indonesia. Pahala Maksud Imam Syafi'iy Tidak Demkian

Imam Syafii menghukumi makruh,, berarti , ,??? &

Imam Syafi'i memang tidak menyebutkan masalah tahlilan karena zaman imam Syafi'i tidak ada yang melaksanakan tahlilan. Itu artinya, imam Syafi'i memang tidak pernah mengajarkan tentang tahlilan karena tidak ada dalilnya.

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top