TAHLILAN BID’AH MENURUT MADZHAB SYAFI’IY?
(Menjawab Tuduhan Ust. Firanda Andirja)
Ust. Dr. Firanda Andirja, Lc., MA. adalah salah satu ustadz Salafi Wahabi Indonesia yang beberapa tahun ini banyak diperbincangkan. Tokoh Salafi Wahabi asal Surabaya ini sering kali melontarkan pendapat yang oleh sebagian pihak dinilai bertentangan dengan tradisi di Indonesia.

Salah satu pandangan beliau yang dirasa bertentangan dengan tradisi di Indonesia adalah tulisan panjang beliau dengan judul ”TAHLILAN ADALAH BID’AH MENURUT MADZHAB SYAFI’I’. bisa dibaca disini.
Dalam tulisan ini beliau menjelaskan panjang lebar mengenai tradisi tujuh hari, 40, 100, 1.000 dan lain sebagainya yang oleh beliau dinilai bertentangan dengan madzbah Syafi’iy yang merupakan madzhab mayoritas umat islam di Indonesia.
Setidaknya, ada tiga argumen yang dijadikan pijakan oleh beliau untuk menghukumi bid’ah acara Tahlilan. Yakni; 1). makruh berta’ziah kepada keluarga mayit setelah tiga hari. 2). Madzhab Syafi’iy menghukumi makruh keluarga duka berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu. 3). Menurut madzhab Syafi’iy makruh hukumnya keluarga duka membuat makanan untuk orang-orang yang berkumpul dirumah duka, dan menilainya sebagai perbuatan bid’ah. Atas dasar tiga alasan inilah, beliau menilai tradisi tahlilan pasca kematian merupakan amalan bid’ah. Benarkah tuduhan beliau
PERTAMA
Argumentasi pertama yang dikemukakan oleh beliau dalam menghukumi bid’ah acara tahlilan pasca kematian adalah adanya hukum ”makruh berta’ziah kepada keluarga mayit setelah tiga hari”. Untuk memperkuat pandangannya, beliau mengutip pernyataan imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berikut:
المجموع - (ج 5 / ص 306)
قال أصحابنا وتكره التعزية بعد الثلاثة لان المقصود منها تسكين قلب المصاب والغالب سكونه بعد الثلاثة فلا يجدد له الحزن هذا هو الصحيح المعروف وجزم السرخسي في الامالي بانه يعزى قبل الدفن وبعده في رجوعه إلى منزله ولا يعزى بعد وصوله منزله وحكى امام الحرمين وجها أنه لا أمد للتعزية بل يبقى بعد ثلاثة أيام وان طال الزمان لان الغرض الدعاء والحمل علي الصبر والنهي عن الجزع وذلك يحصل مع طول الزمان وبهذا الوجه قطع أبو العباس ابن القاص في التلخيص وانكره عليه القفال في شرحه وغيره من الاصحاب والمذهب أنه يعزى ولا يعزى بعد ثلاثة وبه قطع الجمهور قال المتولي وغيره الا إذا كان احدهما غائبا فلم يحضر الا بعد الثلاثة فانه يعزيه
Artinya: Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) mengatakan: "Dan makruh ta'ziyah setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma'ruf. Al-Sarakhsyi menegaskan dalam kitab al-Amaliy, bahwa diperkenankan berta’ziah sebelum dan sesudah prosesi pemakaman, [dengan catatan] sebelum keluarga duka sampai dirumah. Tidak dianjurkan berta’ziah setelah keluarga duka sampai dirumah.Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis". Al-Qoffaal (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya ta'ziah akan tetapi tidak ada ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama. Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari maka ia boleh berta'ziah". (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)
Setelah mengutip pernyataan imam Nawawi diatas, beliau memberikan komentar “Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara tahlilan !!!
BANTAHAN
Kami sepakat dengan Ust. Firanda Andirja dalam hal makruhnya ta’ziah kepada keluarga duka setelah tiga hari pasca kematian, sebagaimana pendapat yang shohih dalam al-Majmu’ diatas.
Namun, Penting untuk diketahui, kata ’Ta’ziah’ dalam kitab al-Majmu’ diatas tidaklah bermakna ’melayat’ sebagaimana yang dipahami oleh Ust. Firanda. Ta’ziah dalam terminology syariah tidaklah seperti ta’ziah yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, dimana keluarga, sanak family dan tetangga datang pada keluarga duka dengan membawa beras, uang dan sebagainya. Yang demikian itu bukanlah ta’ziah yang dimaksud dalam termonologi agama khususnya madzhab Syafi’iy yang menjadi pembahasan kali ini.
Ta’ziah dalam terminologi syariah diartikan oleh para ulama dengan: “datang kepada keluarga duka dan meminta kepada mereka sabar atas musibah (kematian salah seorang keluarga) yang menimpa mereka, menjelaskan kepada mereka besarnya pahala jika mereka bersabar, melarang mereka untuk mengeskpresikan rasa tidak ridlo terhadap ketentuan Alloh serta mendoakan mayyit agar mendapat ampunan dari Alloh dan keluarga yang ditimpa musibah diberi kesabaran”.
Inilah makna ta’ziah yang dimaskud oleh para Ulama’ madzhab Syafi’iy, sebagaimana dijelaskan oleh Syarih al-Muhaqqiq Jalaluddin al-Mahalliy berikut:
حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 1 / ص 401)
وَمَعْنَاهَا الْأَمْرُ بِالصَّبْرِ وَالْحَمْلُ عَلَيْهِ بِوَعْدِ الْأَجْرِ وَالتَّحْذِيرُ مِنْ الْوِزْرِ بِالْجَزَعِ ، وَالدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِالْمَغْفِرَةِ وَلِلْمُصَابِ بِجَبْرِ الْمُصِيبَةِ
Artinya: Makna ta’ziah adalah meminta keluarga duka untuk bersabar dan menjelaskan kepada mereka pahala bagi orang yang sabar, serta melarang mereka melakukan dosa dengan berbuat cemas (mengekspresikan rasa tidak ridlo terhadap ketentuan Alloh, seperti mencakar-cakar pipi, merobek baju dll), mendoakan mayyit agar diberi ampunan oleh Alloh dan mendoakan kelaurga yang tertimpa musibah agar diberi ketabahan. (Hasyiyata al-Qolyubiy wa Umairoh: I, 401)
Penjelasan serupa juga dinyatakan oleh Syaikh Zakariyya al-Anshori sebagai berikut:
أسنى المطالب - (ج 1 / ص 334)
( وَالتَّعْزِيَةُ ) لُغَةً التَّصْبِيرُ لِمَنْ أُصِيبَ بِالتَّعْزِيَةِ عَلَيْهِ وَشَرْعًا ( هِيَ الْحَمْلُ عَلَى الصَّبْرِ بِالْوَعْدِ بِالْأَجْرِ وَالتَّحْذِيرِ ) عَنْ الْوِزْرِ بِالْجَزَعِ ( وَ ) أَنْ ( يَدْعُوَ ) عِبَارَةُ أَصْلِهِ وَالدُّعَاءُ ( لِلْمَيِّتِ وَالْمُصَاب
Artinya: ta’ziah secara etimologi bermakna meminta seseorang bersabar atas musibah yang menimpanya dengan cara ta’ziah (menyuruh bersabar) kepadanya. Sedangkan ta’ziah dalam terminolgi syariah memiliki makna meminta [keluarga duka] untuk bersabar dan [menjelaskan kepada mereka] janji Alloh beruapa pahala bagi orang yang sabar, serta melarang mereka melakukan dosa dengan berbuat cemas (mengekspresikan rasa tidak ridlo terhadap ketentuan Alloh, seperti mencakar-cakar pipi, merobek baju dll), serta mendoakan mayyit kelaurga yang tertimpa musibah. (Asna al-Matholib: I, 334)
Taz’iah dengan makna seperti dijelaskan oleh ulama madzhab Syafi’iy diatas sangat jarang sekali –atau bahkan tidak pernah ditemukan- dilakukan oleh tetangga, dan sanak family yang jauh. bahkan keluarga dekatnyapun jarang melakukan ta’ziah dengan makna yang demikian ini. Kayaknya, Ust. Firanda terpengaruh denga istilah ta’ziah yang berlaku di masyarakat umum, tanpa melakukan kajian lebih mendalam mengenai makna ta’ziah yang dimaksud dalam kitab madzhab Syafi’iy.
Ta’ziah dengan makna yang sesuai dengan yang dikehendaki ulama madzhab Syafi’i tentu bukanlah tahlilan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, menjadikan pernyataan imam Nawawi dalam al-Majmu’ sebagai landasan untuk membid’ahkan tahlilan sangat tidak tepat. Sebab tidak ada relevansi antara tuduhan dan kenyataan, serta tidak ada kaitan antara pernyataan imam Nawawi dan tradisi yang berlaku.
KEDUA
Argumentasi kedua yang beliau ajukan dalam rangka mebid’ahkan tradisi tahlilan dinyatakan oleh Ust. Firanda sebagai berikut: “Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka”.
Untuk memperkuat pandanganya, beliau mengutip pernyataan imam Nawawi dalam al-Majmu Syarh al-Muhadzzab:
المجموع - (ج 5 / ص 306)
(واما) الجلوس للتعزية فنص الشافعي والمصنف وسائر الاصحاب علي كراهته ونقله الشيخ أبو حامد في التعليق وآخرون عن نص الشافعي قالوا يعنى بالجلوس لها ان يجتمع اهل الميت في بيت فيقصدهم من اراد التعزية قالوا بل ينبغى ان ينصرفوا في حوائجهم فمن صادفهم عزاهم ولا فرق بين الرجال والنساء في كراهة الجلوس لها صرح به المحالي ونقله عن نص الشافعي رحمه الله وهو موجود في الام قال الشافعي في الام وأكره الماثم وهى الجماعة وان لم يكن لهم بكاء فان ذلك يجدد الحزن ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الاثر هذا لفظه في الام وتابعه الاصحاب عليه واستدل له المصنف وغيره بدليل آخر وهو انه محدث
Artinya: adapun duduk agar dita’ziahi, yang demikian itu telah dijelaskan oleh imam Syafi’iy dan para muridnya bahwa hukumnya makruh. pernyataan ini dikutip oleh Syaikh Abi Hamid dalam al-Ta’liq dan ulama-ulama lainnya dari pernyataan imam Syafi’i sendiri (nash al-Syafi’iy). Para ulama tersebut menjelaskan, yang dimaksud dengan duduk untuk dita’ziahi adalah berkumpulnya keluarga duka dalam rumah dengan tujuan agar mereka dita’ziyahi. Para ulama tersebut mengatakan, sebaiknya mereka memenuhi dan melaksanakan kebutuhan mereka, kalau kebetulan bertemu dengan mereka, maka dita’ziahi. Dalam hal kemakruhan duduk [agar dita’ziahi], tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan sebagaimana dijelaskan oleh imam Al-Mahamiliy dengan mengutip pernyataan imam Syafi’iy. Pernyataan imam Syafi’iy tersebut terdapat dalam kitab al-Umm. Imam Syafi’iy berkata: Aku benci (menghukumi makruh) Ma’tam , yakni berkumpul-kumpul [keluarga duka], sekalipun tidak disertai dengan tangisan. Karna yang demikian itu dapat memperbaharui kesedihan dan membebani biaya disamping adanya atsar didepan yang melarang. Inilal redaksi dalam kitab al-Umm yang kemudian diikuti oleh para murid imam Syafi’iy. Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab: V, 306)
Setelah menutip pernyataan imam Nawawi diatas, beliau memberikan komentar:
Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3 alasan :
(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis
(2) Hal ini hanya menambah biaya
(3) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)
BANTAHAN
Untuk bisa memahami pendapat ulama sekaliber imam Nawawi dengan baik, tidak bisa hanya dipelajari hanya dalam waktu sebulan dua bulan, apalagi hanya mengandalkan hawa nafsu untuk menyalahkan. kita harus mempelajarinya dengan seksama lalu membandingkan pemahaman kita dengan pemahaman ulama-ulama Syafi’iyyah lain yang menjadi penerus imam Syafi’i dan imam Nawawi. Karna ulama-ulama inilah yang paling memahami apa dan bagaimana maksud pernyataan imam Syafi’iy dan imam Nawawi.
Pernyataan imam Syafi’iy yang kemudian dikuti oleh imam Nawawi diatas: ‘Aku benci (menghukumi makruh) Ma’tam, yakni berkumpul-kumpul [keluarga duka], sekalipun tidak disertai dengan tangisan’ maksudnya adalah: makruh hukumnya keluarga duka berkumpul ditempat khusus agar dita’ziyahi oleh orang lain (ta’ziah dengan makna yang dijelaskan oleh ulama syafi’iyyah diatas), . Pernyataan ini hanya berlaku untuk keluarga duka saja, bukan untuk kerabat, tetangga maupun orang lain. Tidak ada seorang ulamapun yang memahami pernyataan diatas, bahwa imam Syafi’i dan imam Nawawi melarang tahlilan. Ini murni yang pemahaman keliru –kalau tidak mau disebut ngawur-.
Pemahaman mereka yang salah ini –atau mungkin sengaja disalah pahami- kemudian disampaikan kepada orang lain yang tidak bisa baca kitab, orang-orang inipun mengikuti dan mengamini apa yang ia dengar tanpa melakukan kajian ulang yang pada akhirnya akan menyalahkan tradisi tahlilan yang sudah menjadi masyarakat Indonesia, karna ada unsur berkumpul didalamnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, makruh hukumnya bagi keluarga duka untuk berkumpul ditempat khusus. Hukum makruh ini berlaku jika keluarga duka berkumpul untuk dita’ziahi. Jika mereka hanya berkumpul semata tanpa ada tujuan agar dita’ziahi oleh orang lain, maka hukum makruh tidak berlaku sebagaimana diungkapkan oleh Syaikah Zakariyya al-Anshori berikut:
أسنى المطالب - (ج 1 / ص 335)
( وَيُكْرَهُ الْجُلُوسُ لَهَا ) بِأَنْ يَجْتَمِعَ أَهْلُ الْمَيِّتِ بِمَكَانٍ لِيَأْتِيَهُمْ النَّاسُ لِلتَّعْزِيَةِ ؛ لِأَنَّهُ مُحْدَثٌ ، وَهُوَ بِدْعَةٌ ؛ وَلِأَنَّهُ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُعَزَّى ، وَأَمَّا مَا ثَبَتَ { عَنْ عَائِشَةَ مِنْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَهُ قَتْلُ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٍ وَابْنِ رَوَاحَةَ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ يُعْرَفُ فِي وَجْهِهِ الْحُزْنُ } فَلَا نُسَلِّمُ أَنَّ جُلُوسَهُ كَانَ لِأَجْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ النَّاسُ لِيُعَزُّوهُ
Artinya: Makruh hukumnya [keluarga duka] duduk-duduk agar dita’ziahi. Yakni berkumpulnya keluarga duka dalam satu tempat agar orang-orang datang kepadanya untuk berta’ziah. Sebab yang demikian ini merupakan hal yang baru dan statusnya bid’ah. [disisi lain] yang demikian ini dapat menyedihkan kembali dan membebani keluarga yang dita’ziahi. Adapun hadits “dari Aisyah: Rosululloh saw pada saat mendengar terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Ibnu Rowahah beliau duduk dimasjid dengan terlihat kesedihan wajah beliau”. Nabi Muhammad duduk [dimasjid] bukan agar didatangi orang lain untuk menta’ziahi beliau. (Asna al-Matholib: I, 335)
Duduk ditempat khusus jika tidak bertujuan agar didatangi oleh orang lain untuk dita’ziahi, maka tidaklah mengapa, sebagaimana nabi Muhammmad duduk dimasjid pada saat mendengar terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja’far dan Ibnu Rowahah
Ta’ziah yang dimaksud dalam keterangan ini, sama maknanya dengan ta’ziyah yang kami jelaskan diatas: yakni “datang kepada keluarga duka dan meminta kepada mereka sabar atas musibah (kematian salah seorang keluarga) yang menimpa mereka, menjelaskan kepada mereka besarnya pahala jika mereka bersabar, melarang mereka untuk mengeskpresikan rasa tidak ridlo terhadap ketentuan Alloh serta mendoakan mayyit agar mendapat ampunan dari Alloh dan keluarga yang ditimpa musibah diberi kesabaran”.
Hukum makruh duduk ditempat khusus yang dijelaskan oleh imam Nawawi diatas juga tidak berlaku lagi, jika dengan tidak duduk-duduk masyarakat akan menilai keluarga duka melakukan hal yang negative, misalnya dinilai masyarakat sebagai ekspresi ketidaksenangan keluarga duka terhadap orang-orang yang hadir kesana. Jika dengan tidak duduk akan menimpulkan kesan negative oleh masyarakat kepada keluarga duka, maka duduk ditempat khusus hukumnya diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh imam Syarwaniy berikut:
تحفة المحتاج في شرح المنهاج - (ج 3 / ص 176)
وَيُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الِاجْتِمَاعُ بِمَكَانٍ لِتَأْتِيَهُمْ النَّاسُ لِلتَّعْزِيَةِ ا هـ قَالَ ع ش .
وَيَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى عَدَمِ الْجُلُوسِ ضَرَرٌ كَنِسْبَتِهِمْ الْمُعِزِّي إلَى كَرَاهَتِهِ لَهُمْ حَيْثُ لَمْ يَجْلِسْ لِتَلَقِّيهمْ وَإِلَّا فَتَنْبَغِي الْكَرَاهَةُ بَلْ قَدْ يَكُونُ الْجُلُوسُ وَاجِبًا إنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ لَوْ لَمْ يَجْلِسْ ذَلِكَ ا هـ
Artinya: Makruh hukumnya keluarga duka berkumpul dalam satu tempat agar orang-orang datang kepadanya untuk berta’ziah. [dikutip dari penjelasan] Ali Syabromullisiy. Selayaknya ketentuan diatas berlaku jika tidak menimbulkan hal negative apabila keluarga duka tidak duduk-duduk, misalnya orang-orang akan menilai keluarga duka tidak senang dengan kedatangan mereka disaat keluarga duka tidak duduk untuk menemui orang-orang yang datang. kalau tidak demikian, maka duduk [agar ditaiziahi oleh orang lain] hukumnya makruh. bahkan bisa duduk-duduknya keluarga duka bisa menjadi wajib jika ia punya praduga kuat akan menimbulkan penilaian negative pada mereka. (Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj: III, 176)
Dengan penjelasan para ulama-ulama besar madzhab Syafi’iy diatas, maka tidak benar dan tidak dibenarkan menjadikan pernyataan imam Nawawi diatas sebagai dalil untuk melarang, membid’ahkan tahlilan. Apalagi memberikan tuduhan tahlilan makruh menurut madzhab Syafi’iy
KETIGA
Argumentasi terakhir yang dijadikan amunisi untuk menyerang para pelaku tahlil adalah ‘adanya suguhan makanan dari keluarga duka’. Hal ini dijelaskan oleh beliau sebagai berikut:
Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid'ah.
Untuk membuktikan perkatannya, beliau mengutip pernyataan imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab:
المجموع - (ج 5 / ص 320)
قَالَ صَاحِبُ الشَامِلِ وَغَيْرُهُ وَأَمَّا اِصْلَاحُ اَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَاسِ عَلَيْهَ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَيْئٌ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرَ مُسْتَحَبَّةٍ هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الشَامِلِ وَيَسْتَدِلُّ لِهَذَا بِحَدِيْثِ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ الله رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ " كُنَّا نَعُدُّ الاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِيَاحَة " رَوَاهُ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَل وَابْنُ مَاجَه بِاِسْنَادٍ صَحِيْحٍ وَلَيْسَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَه بَعْدَ دَفْنِهِ
Artinya: Pengarang kitab al-Syamil (Ibnu al-Shobbagh) dan lainnya berkata: pembuatan makanan oleh keluarga duka dan berkumpulnya orang-orang atas makanan tersebut tidaklah memiliki dasar sama sekali, hal yang demikian ini merupakan bid’ah yang tidak disunnahkan. Seperti inilah pernyataan Pengarang kitab al-Syamil (Ibnu al-Shobbagh). Adapun dalil yang digunakan untuk masalah ini adalah hadits dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy, beliau berkata: ”kami menilai berkumpul dirumah duka dan membuat suguhan setelah pemakaman termasuk tindakan meratap”. HR. Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dengan sanad shohih, hanya saja dalam riwayat ibnu Majah tanpa adanya redaksi بَعْدَ دَفْنِهِ (setelah prosesi pemakaman). (Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab: V, 320)
BANTAHAN
Dalam acara tujuh hari pasca kematian (tahlilan) terdapat berbagai rangkaian acara, seperti; membaca al-Qur’an bersama-sama, membaca al-Qur’an dengan suara keras, membaca dzikir bersama-sama, membaca dzikir dengan suara keras, mengkhususkan salah satu surat dalam al-Qur’an untuk dibaca, mengkhususkan waktu, sampaikah pahala bacaan al-Qur’an dan dzikirnya kepada orang yang meninggal, memberikan hidangan kepada orang-orang yang melakukan tahlil dan sebagainya.
Masalah-masalah diatas sudah barang tentu memiliki hukum sendiri-sendiri yang tentunya berbeda-beda pula. Kesalahan yang sering kali dilakukan sebagian kalangan adalah menghukumi masalah-masalah diatas dengan satu hukum tanpa memberika perincian. Sebut saja misalnya memberikan makan kepada orang yang melakukan tahlil dirumah duka yang dinilai bid’ah oleh sebagian orang. dengan menghukumi bid’ah ’memberikan suguhan makan’ bukan berarti acara tahlil tujuh hari bid’ah secara keseluruhan. Andai memang bid’ah, maka yang bid’ah hanyalah memberikan suguhan makanannya saja, sementara acara berkumpul untuk mendoakan mayit, membaca al-Qur’an dan dzikir bersama dan lainnya belum tentu hukumnya bid’ah. Sebab, sebagaimana yang saya sebutkan diatas, masalah tahlil merupakan rangkaian acara yang kompleks yang tidak bisa kita hukumi dengan satu hukum.
Dalam tulisan ini, akan kami khususkan mengulas masalah hukum ’memberikan suguhan berupa makanan kepada orang-orang yang melakukan tahlil’. Karna itulah yang dimaksud dalam redaksi al-Majmu’ diatas.
Kami sepakat dengan Ust. Firanda Andirja, bahwa makruh hukumnya keluarga duka memberikan suguhan berupa makanan kepada orang-orang yang berkumpul dirumah duka, sebagaimana dijelaskan oleh imam Nawawi diatas maupun oleh ulama-ulama Syafi’iyyah pada umumnya.
Kendatipun Ulama Syafi’iyyah menilainya sebagai tindakan bid’ah dan makruh dilakukan, namun para ulama syafi’iyyah memberikan beberapa catatan
1. Apabila keluarga duka membuat makanan sebagai mana orang lain membuatkan makanan untuk dia pada saat keluarganya meninggal, maka hukum makruh sudah tidak berlaku lagi. Pada saat seperti ini maka hukum memberikan suguhan makanan ada dua, ada yang mengatakan sunnah dan adapula yang mengatakan wajib, sebagaimana hukum mengembalikan uang yang diberikan oleh para undangan pada saat resepsi pernikahan atau khitanan.
تحفة المحتاج في شرح المنهاج - (ج 3 / ص 208)
ثُمَّ مَحَلُّ الْخِلَافِ كَمَا هُوَ وَاضِحٌ فِي غَيْرِ مَا اُعْتِيدَ الْآنَ أَنَّ أَهْلَ الْمَيِّتِ يَعْمَلُ لَهُمْ مِثْلَ مَا عَمِلُوهُ لِغَيْرِهِمْ فَإِنَّ هَذَا حِينَئِذٍ يَجْرِي فِيهِ الْخِلَافُ الْآتِي فِي النُّقُوطِ فَمَنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ لَهُمْ يَفْعَلُهُ وُجُوبًا أَوْ نَدْبًا وَحِينَئِذٍ لَا تَتَأَتَّى هُنَا كَرَاهَتُه
Artinya: Perbedaan pendapat ini tidak berlaku pada tradisi dimasa sekarang dimana keluarga duka membuat makanan sebagaimana orang lain akan membuatkan makana untuk dia disaat kelurganya meninggal dunia, maka pada saat demikian berlakulah perbedaan pendapat mengenai uang yang diberikan oleh para undangan, apakah orang yang diberi wajib mengembalikan ataukah sunnah. Pada saat demikian hukum makruh tidak berlaku lagi. (Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj: III, 208)
2. Apabila keluarga duka membuat makanan karna tradisi setempat demikian, sehingga apabila keluarga duka tidak melakukan akan menjadi bahan gunjingan masyarakat, maka dalam kondisi demikian, keluarga duka akan mendapat pahala.
الفتاوى الفقهية الكبرى - (ج 2 / ص 7)
( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ
( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَسْلِيَةٌ لَهُمْ أَوْ جَبْرٌ لِخَوَاطِرِهِمْ لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ لِأَنَّهُ مِنْ الصِّلَاتِ الْمَحْمُودَةِ الَّتِي رَغَّبَ الشَّارِعُ فِيهَا وَالْكَلَامُ فِي مَبِيتٍ لَا يَتَسَبَّبُ عَنْهُ مَكْرُوهٌ وَلَا مُحَرَّمٌ وَإِلَّا أُعْطِيَ حُكْمَ مَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ إذْ لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Artinya: Ibnu Hajar al-Haitami) ditanya mengenai peyembelihan hewan yang dilakukan oleh keluarga duka, kemudian dibawa kepemakaman dan disedekahkan kepada penggali kubur saja, Dan hokumengenai hal yang dilakukan pada hari ketiga setelah kematian dengan menghidangkan makanan orang-orang fakir dan lainnya, begitu pula pada hari ketujuh dan setelah sebulan. Mereka tidak melakukan hal ini kecuali untuk mengikuti tradisi penduduk setempat. Hingga jika ada diantara mereka ada yang tidak melakukannya, maka mereka kurang disenangi. Apakah jika mereka yang bertujuan melakukan tradisi dan sedekah, atau sekedar mengikuti tradisi, bagaimana tinjauan hukumnya, boleh atau tidak? Andikan itu dilakukan dengan diambilkan dari harta peninggalan mayit sebelum dibagikan padahal salah seorang dari mereka ada yang tidak rela, apakah biaya tersebut harus diambilkan dari bagian harta warisan pada saat pembagian. Ibnu Hajar al-Haitami juga ditanya mengenai menginap di rumah duka hingga melewati masa satu bulan, sebab hal itu seperti kewajiban. Apa hukumnya?
(Ibnu Hajar) menjawab: Semua yang terdapat dalam pertanyaan adalah bid'ah yang tercela tapi tidak haram. Kecuali bila dilakukan untuk meratapi mayit. Dan jika seseorang melakukannya bertujuan untuk menghindari ucapan orang-orang bodoh dan dapat merusak reputasinya jika tidak melakukan, maka ada harapan dia memperoleh pahala. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah Saw tentang seseorang yang hadats dalam salat untuk memegang hidung dengan tangannya. Para ulama mengemukakan alasan untuk menjaga nama baiknya jika tidak melakukan cara seperti ini. Haram hukumya melakukan acara diatas apabila diambilkan dari harta peninggalan mayit sebelum dibagikan, sedangkan salah seorang dari ahli warisnya ada yang tidak boleh mendistribusikan harta (mahjur alaih), atau semua ahli warisnya boleh mendistribusikan harta namun ada salah seorang dari mereka ada yang tidak rela. Apabila ada seseorang ahli waris melakukan hal diatas, maka ia tidak diperkenakan untuk meminta ganti rugi kepada ahli waris yang lain. Apabila acara tersebut diambilkan dari harta peninggalan mayat padahal ada sebagaiam ahli waris yang tidak mengizikan, maka ia harus menggantinya. Dan jika menginap di rumah duka bisa menghibur keluarganya dan bisa menentramkannya, maka tidak apa-apa bahkan ini bagian dari cara merajut hubungan yang terpuji, sebagaimana dianjurkan oleh syariat. Tema ini terkait menginap yang tidak menimulkan hal-hal makruh atau haram. Jika ini terjadi maka berlaku hukum sebaliknya, karena sebuah sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Wallahu A'lam bi Shawab." (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubro: II, 7).

Dengan penjelasan-penjelasan diatas, maka pernyataan Ust. Dr. Firanda Andirja Lc., MA. bahwa TAHLILAN BID’AH MENURUT MADZHAB SYAFI’IY merupakan tuduhan tanpa dasar dan semata-mata pemahaman pribadi yang tidak sesuai dengan pemahaman ulama madzhab Syafi’iy sendiri.
Sumbermanjing Wetan Malang: 26 November 2017
0 Komentar untuk "TAHLILAN BID’AH MENURUT MADZHAB SYAFI’IY? (Menjawab Tuduhan Ust. Firanda Andirja)"