HUKUM BERSALAMAN SETELAH SHOLAT

Meskipun demikian, banyak orang yang mempertanyakan tentang hukumnya. Perbincangan seputar ini masih terfokus tentang bid’ah tidaknya amaliyyah tersebut.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut. Akan kami kutipkan beberapa hadits yang menerangkan tentang bersalaman, antara lain:
سنن أبى داود - (ج 15 / ص 113)
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا ».
Artinya : Diriwayatkan dari al-Barra’, Rasulallah s.a.w. bersabda, “Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum berpisah.” (H.R. Abu Dawud)
مسند أحمد - (ج 37 / ص 436)
وَقَالَ أَسْوَدُ أَخْبَرَنِى يَعْلَى بْنُ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ يَزِيدَ بْنِ الأَسْوَدِ السُّوَائِىَّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- الصُّبْحَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ بِيَدِهِ يَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ. قَالَ َأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِى فَوَجَدْتُهَا أَبْرَدَ مِنَ الثَّلْجِ وَأَطْيَبَ رِيحاً مِنَ الْمِسْكِ.
Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad, dari ayahnya, bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya, saya menemukan tangan beliau lebih dingin dari salju serta lebih wangi dari minyak misik. (HR. Ahmad)
صحيح البخارى - (ج 21 / ص 10)
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ أَكَانَتِ الْمُصَافَحَةُ فِى أَصْحَابِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ نَعَمْ
Artinya: Dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata: saya berkata kepada Anas bin Malik, apakah mushafahah itu dilakukan oleh para sahabat Rasul ? Anas menjawab : ya (benar). (HR. Bukhori)
Hadits-hadits di atas membicarakan salaman secara umum, baik setelah shalat maupun di luar setelah shalat. Inti dari hadits-hadits diiatas adalah, bersalaman merupakan hal yang dinjurkan dalam syariat islam.
Setelah kita memahami hadits diatas, maka pembahasan kita selanjutnya adalah: ‘bagaimana hukum bersalaman setelah sholat’?
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar menyatakan:
الأذكار للنووي - (ص 266)
وَاعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْمُصَافَحَة مُسْتَحَبَّة عِنْد كُلّ لِقَاء ، وَأَمَّا مَا اِعْتَادَهُ النَّاس مِنْ الْمُصَافَحَة بَعْد صَلَاتَيْ الصُّبْح وَالْعَصْر فَلَا أَصْل لَهُ فِي الشَّرْع عَلَى هَذَا الْوَجْه وَلَكِنْ لَا بَأْس بِهِ ، فَإِنَّ أَصْل الْمُصَافَحَة سُنَّة ، وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْض الْأَحْوَال وَفَرَّطُوا فِيهَا فِي كَثِير مِنْ الْأَحْوَال أَوْ أَكْثَرهَا لَا يَخْرُج ذَلِكَ الْبَعْض عَنْ كَوْنه مِنْ الْمُصَافَحَة الَّتِي وَرَدَ الشَّرْع بِأَصْلِهَا . وَقَدْ ذَكَرَ الْإِمَام أَبُو مُحَمَّد بْن عَبْد السَّلَام أَنَّ الْبِدَع عَلَى خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمُحَرَّمَةٌ وَمَكْرُوهَةٌ وَمُسْتَحَبَّةٌ وَمُبَاحَةٌ ، قَالَ وَمِنْ أَمْثِلَةِ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ الْمُصَافَحَةُ عَقِبَ الصُّبْح وَالْعَصْر وَاللهُ أَعْلَمٌ.
Artinya: ketahuilah, bersalaman hukumnya sunnah setiap kali bertemu. Adapun tradisi yang dilakukan oleh orang-orang dimana mereka bersalaman setelah sholat shubuh dan ashar tidaklah memiliki dasar secara spesifik, namun tidaklah mengapa dilakukan, sebab pada dasarnya bersalaman hukumnya sunnah. Adapun rutinitas mereka untuk bersalaman dalam sebagian keadaan dan berlebihan dalam banyak dan banyak kondisi tidaklah menajdikannya keluar dari hukum asal bersalaman yang dianjurkan oleh syariat. Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam menuturkan bahwa bid’ah ada lima macam, wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Beliau melanjutkan, termasuk bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat subuh dan ashar. (Al-Adzkar: 266)
Menurut imam Nawawi hukum bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah sekalipun tidak ada dalil spesifik dalam hal tersebut. Karna pada dasarnya bersalaman hukumnya sunnah.
Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Mulla Khosru, menurut beliau bersalaman setelah sholat dan setiap kali berjumpa dengan orang lain hukumnya sunnah. Bahkan beliau memiliki karya khusus yang membahas masalah hukum salaman setelah sholat dengan nama Sa’adah Ahlil Islam bi al-Mushofahah Aqibah al-Sholah wa al-Salam
درر الحكام شرح غرر الأحكام - (ج 2 / ص 149)
وَالتَّهْنِئَةُ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ لَا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ ، وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا وَعِنْدَ كُلِّ لُقِيٍّ وَلَنَا فِيهَا رِسَالَةٌ سَمَّيْتهَا سَعَادَةَ أَهْلِ الْإِسْلَامِ بِالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ .
Artinya: mengucapkan ‘Taqobbalallohu Minna wa Minkum (semoga Alloh menerima ibadahku dan kalian) tidak dapat disalahkan. Bahkan hukumnya sunnah setelah sholat dan setiap kali berjumpa. Saya memiliki sebuah risallah yang saya berinama Sa’adah Ahlil Islam bi al-Mushofahah Aqibah al-Sholah wa al-Salam. (Durar al-Hukkam Syarh Guror al-Ahkam: II, 149)
Pandangan berbeda disampaikan oleh imam Ibnu Taymiyyah. Menurut beliau, bersalaman setelah sholat bukanlah hal sunnah yang dilakukan dan tidak pernah diajarkan oleh Rosululloh saw.
غذاء الألباب في شرح منظومة الآداب - (ج 1 / ص 329)
( الثَّانِي ) سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ - أَغْدَقَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ عَلَى رُوحِهِ الزَّكِيَّةِ - عَنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَالْفَجْرِ هَلْ هِيَ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ أَمْ لَا ؟ أَجَابَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ : أَمَّا الْمُصَافَحَةُ عَقِبَ الصَّلَاةِ فَبِدْعَةٌ لَمْ يَفْعَلْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ انْتَهَى .
Artinya: Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah –semoga Alloh memberikan rahmat terhadap ruhnya yang suci- mengenai hukum bersalaman setelah sholat dan shubuh, apakah yang demikian itu sunnah atau tidak? Beliau menjawab: ‘bersalaman setelah sholat merupaka perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh saw dan tidak seorangpun ulama yang mensunnahkannya. (Ghidza’ al-Albab fi Syarh Mandzumah al-Adab: I, 329)
Sebagian Ulama dari kalangan Hanafiyyah menghukumi makruh salaman setelah sholat sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Abidin sebagai berikut:
رد المحتار - (ج 2 / ص 235)
وَقَدْ صَرَّحَ بَعْضُ عُلَمَائِنَا وَغَيْرُهُمْ بِكَرَاهَةِ الْمُصَافَحَةِ الْمُعْتَادَةِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ مَعَ أَنَّ الْمُصَافَحَةَ سُنَّةٌ ، وَمَا ذَاكَ إلَّا لِكَوْنِهَا لَمْ تُؤْثَرْ فِي خُصُوصِ هَذَا الْمَوْضِعِ ، فَالْمُوَاظَبَةُ عَلَيْهَا فِيهِ تُوهِمُ الْعَوَّامَ بِأَنَّهَا سُنَّةٌ فِيهِ ،
Artinya: Sebagian ulama kita dan sebagian ulama dari madzhab lain menjelaskan kemakruhan tradisi bersalaman setelah sholat padahal bersalaman [pada dasaranya] sunnah. Hal itu tidak lain karna tidak adanya dalil spesifik yang menganjurkan salaman pada waktu-waktu tersebut. Rutin bersalaman pada waktu-waktu tersebut akan memberikan kesan kepada orang awam bahwa bersalaman hukumnya sunnah. (Rodd al-Muhtar: II, 235)
Dari penjelasan para ulama diatas, dapat kita ketahui bahwa hukum bersalaman setelah sholat hukumnya masih dipedebatkan oleh para Ulama, sebagaian ada yang menghukumi sunnah dan sebagian yang lain menghukumi makruh.
Perbedaan pendapat diatas berlaku jika seseorang yang bersalaman telah bertemu sebelum melaksanakan sholat. Jika ia bertemu sebelumnya, misalnya pada saat dia masuk kedalam masjid, orang-orang sudah melaksanakan sholat, maka semua ulama sepakat bahwa bersalaman setelah sholat dalam kondisi demikian hukumnya sunnah sebagaiman ditegaskan oleh al-Harowi al-Qoriy berikut:
مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح - (ج 7 / ص 2963)
لو دخل أحد في المسجد والناس في الصلاة أو على إرادة الشروع فيها فبعد الفراغ لو صافحهم لكن بشرط سبق السلام على المصافحة فهذا من جملة المصافحة المسنونة بلا شبهة ومع هذا إذا مد مسلم يده للمصافحة فلا ينبغي الإعراض عنه بجذب اليد لما يترتب عليه من أذى يزيد على مراعاة الأدب
Artinya: apabila seseorang masuk masjid sementara orang-orang sedang atau hendak malaksanakan sholat. Andaikan ia menyalami orang-orang tersebut setelah sholat –dengan catatan setelah melakukan salam- maka yang demikian itu masuk dalam katagori salaman yang disunnahkan tanpa ada syubhat sama sekali. Disamping itu, apabila ada seseorang menjulurkan tangannya untuk bersalaman, maka tidak selayaknya kita berpaling [tidak menghiraukannya] dengna cara menepis tangannya, karna yang demikian itu dapat menyakiti [hati orang lain] melebihi menjaga tatakrama. (Mirqoh al-Mafatih: VII, 2963)
Pada saat seseorang tidak berjumpa sama sekali sebelum ia melaksanakan sholat, atau telah berjumpa namun orang lain tersebut sedang atau hendak melaksanakan sholat, makan dalam kondisi demikian bersalaman hukumnya sunnah, karna masuk dalam katagori bersalaman pada saat berjumpa.
Dalam kondisi dimaana seseorang telah berjumpa sebelum melaksakan sholat, makan berlakulah perbedaan pendapat mengenai hukum bersalaman setelah sholat sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas.
Sikap yang harus kita ambil pada saat sebuah masalah masih diperdebatkan status hakumnya oleh para Ulama, adalah tidak saling menyalahkan, menbid’ahkan dan mengolok-olok, baik antara satu orang satu dengan yang lain maupun satu kelompok satu dengan yang lain.
أنوار البروق في أنواع الفروق - (ج 1 / ص 221)
لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مُخْتَارِهِ فَيُدْخِلُ عَلَيْهِمْ شَغَبًا فِي أَنْفُسِهِمْ وَحِيرَةً فِي دِينِهِمْ إذْ مِنْ شَرْطِ التَّغْيِيرِ أَنْ يَكُونَ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ قَالَ عِيَاضٌ فِي الْإِكْمَالِ مَا نَصُّهُ لَا يَنْبَغِي لِلْآمِرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهِي عَنْ الْمُنْكَرِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ وَإِنَّمَا يُغَيِّرُ مَا اُجْتُمِعَ عَلَى إحْدَاثِهِ وَإِنْكَارِهِ ا هـ وَقَالَ الشَّيْخُ مُحْيِي الدِّينِ فِي مِنْهَاجِهِ أَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَلَا إنْكَارَ فِيهِ وَلَيْسَ لِلْمُفْتِي وَلَا لِلْقَاضِي أَنْ يَعْتَرِضَ عَلَى مَنْ خَالَفَهُ إذَا لَمْ يُخَالِفْ نَصَّ الْقُرْآنِ أَوْ السُّنَّةِ أَوْ الْإِجْمَاعِ
Artinya: tidak selayaknya seseorang mengarahkan orang lain terhadap pendapat yang ia pilih, karna yang demikian itu dapat menjadikan huru hara dalam diri mereka dan kebigungan dalam agama mereka. Sebab salah satu syarat merubah kemunkaran adalah harus disepakti hukumnya oleh orang lain. Imam Iyadl dalam kitab al-Ikmal menerangkan: tidak selayaknya bagi orang yang beramar ma’ruf nahi munkar untuk mengarahkan orang lain terhadap pendapat yang ia pilih [atau madzhab yang ia anut]. Seseoran hanya diperkenankan merubah kemunkaran yang telah disepakati oleh para Ulama bahwa yang demikian itu adalah kemunkaran. Syaikh Muhyiddin dalam Minhaj mengatakan: adapun hal-hal yang masih diperbedatkan oleh para ulama mengenai status hukumnya, maka tidak boleh di inkari (disalahkan). Pemberi fatwa maupun pemutus hukum tidak boleh memprotes orang-orang yang berbeda dengannya selama tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, sunnah dan consensus para Ulama. (Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq: I, 221)
Seperti inilah akhlak dan sikap yang diajarkan oleh para Ulama tatkala kita melihat orang lain berbeda dengan kita, sedangkan orang lain tersebut juga memiliki dasar berupa pendapat seorang Ulama. Tidak saling menyalahkan, tidak saling membid’ahkan terlebih lagi saling mengkafirkan. Na’udzubillah min Dzalik
0 Komentar untuk "HUKUM BERSALAMAN SETELAH SHOLAT"