Tentang Dua ‘Qanun at-Ta’wil’

Dalam khazanah intelektual Islam di Abad Pertengahan, sepengetahuan saya, ada dua buku yang secara kebetulan sama-sama berjudul ‘Qanun at-Ta’wil’. Kebetulan juga, kedua buku ini ditulis oleh dua orang ulama yang memiliki hubungan guru-murid. Yang pertama adalah sang guru, Syaikh Abu Hamid al-Ghazali, ulama tersohor kelahiran Thus penulis Ihya’ ‘Ulum ad-Din itu. Dan yang kedua adalah muridnya yang berasal dari Seville, Andalusia: Abu Bakr ibn al-‘Arabi.

Kedua buku yang sama-sama berbicara tentang pendekatan-pendekatan yang kita butuhkan untuk memaknai kitab suci ini sebenarnya sangat lain secara isi. Qanun at-Ta’wil yang pertama, yang ditulis oleh al-Ghazali, temanya sangat spesifik. Buku yang sangat tipis ini sebenarnya adalah cuplikan dari korespondensi yang lebih panjang antara sang Hujjat al-Islam dengan Abu Bakr Ibn al-‘Arabi. Sang murid mengajukan sejumlah pertanyaan kepada gurunya tentang bagaimana sebaiknya kita memaknai hadis-hadis yang dari sudut pandang ilmiah terkesan problematik. Salah satunya yang dibicarakan oleh al-Ghazali adalah hadis “Setan mengalir dalam tubuh kita seperti darah.”

Dalam ikhtiar untuk memaknai hadis-hadis problematik inilah, al-Ghazali merumuskan apa yang ia sebut ‘hukum universal dalam takwil’ (al-qanun al-kulli fi-t-ta’wil) yang ia elaborasi secara lebih ekstensif dalam risalahnya yang lain, Faishal at-Tafriqah baina al-Islam wa-z-Zandaqah. Ia menetapkan rasionalitas logis sebagai tolok ukur dalam menetapkan apakah kita sebaiknya memaknai ayat Qur’an dan hadis secara literal atau kita takwil saja.

Buku yang kedua, yang lebih panjang (459 halaman dalam editan Muhammad as-Sulaimani) lebih tepat disebut sebagai buku tentang teologi, etika spiritual, dan ‘ulum al-Qur’an kalau dilihat dari sudut pandang disiplin keilmuan Islam modern. Jadi, topiknya lebih umum daripada karya al-Ghazali.

Qanun at-Ta’wil karangan Ibn al-‘Arabi juga menarik dari segi yang lain: di sana sini, sang penulis menyelipkan cerita-cerita otobiografis tentang perjalanan hidupnya, mulai dari masa mudanya di Andalusia, pengembaraannya ke Timur karena misi politik, hingga perjumpaannya dengan al-Ghazali yang dengan khidmat ia sebut sebagai ‘Danisymand’, istilah Persia yang artinya adalah ‘guru yang bijaksana’.

Di halaman 111 hingga 114, Ibn al-‘Arabi melukiskan perjumpaan pertamanya dengan al-Ghazali dan kesan pribadinya tentang sang Hujjat al-Islam. (Ibn al-‘Arabi bertemu dengan al-Ghazali 2 tahun setelah ia mengalami krisis spiritual, beruzlah, dan mengembara sebagai Sufi faqir di Syria dan Iraq. Pada saat itu, al-Ghazali sudah kembali ke Baghdad dan mengajarkan Ihya’ kepada murid-muridnya.) Karena menarik, saya coba terjemahkan beberapa pasase di antaranya:

“[Di Baghdad,] saya belajar, membatasi diri [dengan belajar], dan memuaskan dahaga saya [akan pengetahuan]. Saya menyimak [para ulama] dan menyimpan [ajaran mereka] dalam hati, hingga sang Danisymand mendatangi kami [maksudnya adalah Ibn al-‘Arabi dan ayahnya]. Ia tinggal di Ribath Abu Sa‘d di seberang Madrasah Nizhamiyyah. Ia telah meninggalkan dunia dan berpaling kepada Allah. Kami menghadap kepadanya, memperkenalkan diri, dan saya berkata kepadanya: “Andalah pembimbing yang kami cari dan imam yang akan menunjukkan kepada kami jalan yang benar.” Kami bertatap muka dengannya dan pertemuan kami berlandaskan ma‘rifah. Kami belajar darinya sesuatu yang berada di atas rata-rata (al-shuffah); dan kami menyadari bahwa apapun yang kami terima mengenai pengetahuan batin lebih dari sekadar pengetahuan teoretis (fauqa-l-musyahadah) dan bukan untuk orang-orang kebanyakan (al-‘umum).”

“[Al-Ghazali] adalah seseorang yang, bila Engkau menyaksikannya dengan mata kepalamu sendiri, Engkau menyaksikan keelokan (jamal) ragawi, dan bila Engkau mengecap pengetahuannya Engkau menyadari bahwa ia adalah samudera yang dalam. Semakin banyak Engkau belajar darinya, semakin besar pula kebahagiaanmu.”

“Saya membangun ikatan kuat bersamanya dan saya menjadi tak terpisahkan dari karpetnya. Saya memanfaatkan waktu luang dan kecerdasannya, dan setiap saat ia datang kepada saya, saya segera menumpahkan segala ekspektasi saya padanya. Ia membolehkan saya [berbagi] tempat dengannya dan saya bersamanya di waktu pagi, siang, saat makan siang, dan saat makan malam, baik ketika ia sedang berpakaian santai atau ketika sedang berseragam formal. Selama waktu itu, saya dapat bertanya kepadanya tanpa batas, seperti seorang ulama di tempat di mana belenggu pemikiran dipercayakan [kepadanya]. Saya dapati ia terbuka kepada saya dalam hal pelajaran dan saya temui ia taat asas.”

Oleh: Muhammad Ma'mun
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Tentang Dua ‘Qanun at-Ta’wil’"

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top