Benarkah Wabah Covid-19 Akan Berakhir di Bulan Mei?

(Tulisan ini agak panjang karena berusaha mendiskusikan masalah ini secara lebih ilmiah dan argumentatif)

Menanggapi video yang sedang viral tentang ramalan seorang ustadz bahwa wabah Covid-19 akan berakhir pada awal bulan Mei nanti, serta untuk menjawab pertanyaan beberapa teman tentang hal ini, maka saya tergerak untuk menjelaskannya dalam tulisan sederhana ini.

-----------
Di awal video yang beredar luas itu sang ustadz mengatakan: “Banyak orang bertanya-tanya, kapan virus corona ini berakhir? Jawabannya disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya. Rasulullah Saw menjawab:

ا طَلَعَ النَّجْمُ ذَا صَبَاحٍ رُفِعَتِ الْعَاهَةُ
Kemudian ia mengartikan hadits itu seperti ini : “Apabila suatu saat nanti muncul bintang, di suatu pagi, pada pagi hari, maka akan diangkatlah segala macam wabah.”

Lalu ia menafsirkan wabah dalam hadits tersebut dengan virus yang menular dan memakan korban secara massal. Kemudian ia menukil dari Syekh Ahmad bin Abdurrahman al-Banna as-Sa’ati, pengarang kitab al-Fath ar-Rabbani, bahwa yang dimaksud dengan ‘bintang’ dalam hadits ini adalah bintang ats-tsurayya (الثريا). Ia juga menukil dari Imam Ibnu al-Mulaqqin bahwa bintang ini akan muncul di permulaan bulan Mei. 

Di bagian akhir, ia memberikan harapan semoga wabah ini benar-benar berakhir pada bulan Mei nanti berdasarkan prediksi dari Rasulullah Saw yang berasal dari wahyu.

--------
Tentu saja memberikan harapan dan optimisme pada masyarakat agar wabah ini segera pergi dan diangkat adalah sesuatu yang positif. Apalagi di tengah berseliwerannya berbagai informasi dan berita yang semakin menimbulkan rasa takut.

i yang jadi permasalahan adalah ketika sang ustadz menjadikan hadits Nabi sebagai dasar ramalannya itu, dan dengan tegas menyebutkan bahwa hadits tersebut berkaitan dengan wabah corona yang dihadapi dunia saat ini.
Ini yang perlu mendapat tanggapan. Betulkah hadits yang disampaikan itu terkait dengan virus corona? Tepatkah langkah sang ustadz –barakallahu fih- memberikan optimis dan harapan berdasarkan hadits yang dipahaminya sendiri secara tergesa-gesa?

Sesungguhnya yang sangat saya khawatirkan adalah ketika masyarakat percaya dengan ramalan itu karena didasarkan kepada hadits Nabi, tapi ternyata ramalan itu tidak terjadi sama sekali. Dengan kata lain, kalau pada bulan Mei nanti wabah ini masih belum lenyap. Bukankah ini akan menjadi peluang bagi sebagian orang untuk meragukan hadits-hadits Nabi? Ini juga akan menjadi senjata bagi orang-orang yang merasa antipati terhadap nash-nash agama untuk menyerang Islam dan mengatakan, “Ternyata apa yang diramalkan Muhammad omong kosong belaka…”

Inilah yang membuat saya tergerak untuk menulis tanggapan ini.

Satu hal yang penting dicatat, saya tidak menyerang pribadi sang ustadz (dan saya juga tidak mengenalnya), tidak juga meragukan niat baiknya untuk memberikan harapan dan optimisme kepada umat. Yang saya kritik adalah metode yang digunakannya dalam memahami hadits dan ‘memasangkannya’ pada kasus atau kejadian tertentu.

Langkah Penting Dalam Memahami Sebuah Hadits
Sebuah hadits tidak bisa dan tidak boleh dipahami terpisah dari hadits-hadits lain yang senada dan semakna. Sebagaimana ayat-ayat dalam al-Quran saling menafsirkan satu sama lain, hadits juga saling menjelaskan satu sama lain. Di samping itu, yang juga tak kalah pentingnya adalah melihat konteks hadits tersebut. Dalam kondisi apa hadits tersebut diucapkan oleh Nabi Saw. Apakah ada asbabul wurud yang menjadi latar belakang hadits tersebut disampaikan agar kita bisa memahaminya dengan benar.

Sebelum kita mengkaji makna hadits, ada baiknya kita lihat dulu bagaimana kekuatan hadits tersebut. Redaksi atau lafaz hadits yang disampaikan sang ustadz sesungguhnya datang dari sanad yang lemah, karena di dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Isl bin Sufyan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib at-Tahdzib mengatakan bahwa ia dha’if (lemah). Namun karena riwayat ini ada mutabi’ (pendukung) maka hadits dari sanad ini naik menjadi hasan (lihat Musnad Ahmad tahqiq Syekh Syu’aib al-Arna`uth 14/192 dan Taqrib at-Tahdzib hal 390 tahqiq Syekh Muhammad ‘Awwamah).

Walaupun demikian, asal hadits ini adalah shahih. Artinya, meskipun sanad beberapa hadits dengan redaksi ini dinilai dha’if dan hasan, tapi inti haditsnya sendiri adalah shahih, bahkan asalnya ada dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu Dawud. Riwayat-riwayat ini mesti dikaji dan diperhatikan untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dan benar tentang hadits tersebut.

Ketika kita mengkaji berbagai riwayat tersebut, kita akan melihat bahwa sesungguhnya hadits ini tidak berbicara tentang wabah secara umum, apalagi dikaitkan dengan virus corona seperti yang ditegaskan sang ustadz, melainkan berbicara tentang aib atau cacat yang ada pada tanaman, khususnya korma.

Di sini tampak bahwa sang ustadz tidak memiliki amanah ilmiyah (tanpa mengurasi rasa hormat pada beliau). Ia hanya menyampaikan satu hadits ini saja dan mengabaikan hadits-hadits lain yang semakna yang terang-terangan berbicara tentang cacat pada tanaman, lalu ia tafsirkan secara ‘bebas’ bahwa maksud dari kata al-’ahah (الْعَاهَة) dalam hadits itu adalah wabah (termasuk diantaranya corona), kemudian ia nukil dari Syekh Ahmad bin Abdurrahman as-Sa’ati (pengarang kitab al-Fath ar-Rabbani) bahwa arti kata ‘bintang’ dalam hadits ini adalah bintang tsurayya yang muncul pada bulan Mei.

Semestinya, jika ia memang seorang pengkaji hadits, ia kumpulkan terlebih dahulu berbagai riwayat dari hadits tersebut, kemudian ia kaji secara seksama konteks hadits itu diucapkan Nabi Saw, lalu ia perhatikan apa komentar para ulama secara komprehensif terhadap hadits-hadits tersebut, bukan dengan cara ‘comot ini comot itu’ untuk sampai pada kesimpulan yang sudah disiapkan dari awal (musbaqan) lalu mengabaikan riwayat-riwayat lain yang senada dan pendapat para ulama yang sangat beragam.

n, dengan mengumpulkan berbagai sanad untuk hadits ini dengan redaksinya yang secara substansial sama dari Musnad Imam Ahmad saja (sebelum melihat riwayat-riwayat yang lain dalam Shahih Bukhari Muslim), kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa hadits ini tidak berbicara tentang virus.

Perhatikan riwayat-riwayat berikut di dalam Musnad Ahmad:

 عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ سُرَاقَةَ سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ، فَقَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تَذْهَبَ الْعَاهَةُ "، قُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمَا تَذْهَبُ الْعَاهَةُ ، مَا الْعَاهَةُ؟ قَالَ: طُلُوعُ الثُّرَيَّا
Dari Utsman bin Abdullah bin Suraqah, ia berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Umar tentang menjual hasil tanaman (buah-buahan). Ia menjawab: “Rasulullah Saw melarang menjual hasil tanaman sampai cacat atau aibnya benar-benar hilang.” Saya bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, apa tandanya cacatnya hilang? Apa yang dimaksud dengan ‘ahah itu?” Ia menjawab, “Terbitnya bintang.”

Perhatikan juga riwayat berikut:

عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَبِيعُوا ثِمَارَكُمْ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا وَتَنْجُوَ مِنَ الْعَاهَةِ
Dari ‘Amrah, dari Aisyah ra, dari Nabi Saw, ia bersabda: “Jangan jual buah-buahan kalian sampai tampak masaknya (berwarna merah atau hijau) dan aman dari cacat.”

Dari dua riwayat dalam Musnad Ahmad ini saja sudah jelas bahwa kata al-‘ahah (الْعَاهَة) dalam hadits ini tidak berarti virus atau wabah. Benar bahwa secara bahasa kata ini bisa saja digunakan dalam pengertian wabah. Tetapi dalam memahami sebuah kata yang bersifat musytarak (memiliki arti ganda) kita mesti melihat kepada konteks bagaimana dan dalam kondisi apa kata itu diucapkan.

Bahkan sebenarnya hal ini juga disebutkan oleh Syekh Ahmad bin Abdurrahman as-Sa’ati yang dijadikan referensi utama oleh sang ustadz. Syekh Ahmad menulis:

وفي رواية أبي حنيفة عن عطاء رفعت العاهة عن الثمار
Dalam riwayat Abu Hanifah dari ‘Atha` disebutkan: diangkat al-‘ahah dari buah-buahan.
Tak sampai disitu, Syekh as-Sa’ati juga menjelaskan:

قيل أراد بهذا الخبر أرض الحجاز لأن الحصاد يقع بها فى أيار وتدرك الثمار وتأمن من العاهة فالمراد عاهة الثمار خاصة والله أعلم (الفتح الرباني 20/13)
Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan Nabi dalam hadits ini adalah negeri Hijaz karena panen buah korma terjadi di bulan Ayar (Mei), buah-buahan dipetik dan selamat dari hama dan wabah. Jadi yang dimaksud adalah wabah tanaman saja.”

Jadi sebenarnya maksud dari kata al-‘ahah dalam konteks ini adalah wabah atau hama tanaman, bukan wabah penyakit secara umum, apatah lagi jika dikaitkan dengan virus corona. Ini juga tampak dalam salah satu riwayat di dalam Shahih Bukhari :

وَكَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ صَلاَحِهَا قَالَ : حَتَّى تَذْهَبَ عَاهَتُهُ (رواه البخاري رقم 1486)
Ketika Nabi ditanya tentang apa maksud dari masaknya (atau layaknya buah-buahan untuk boleh dijual), beliau menjawab: “Sampai hilang cacatnya.”

Imam Badruddin al-‘Aini, pengarang Umdatul Qari mengatakan: “Maksudnya adalah cacat pada korma. Dalam riwayat al-Kusymihani disebutkan dengan redaksi: عَاهَتُهَا menggunakan lafaz muannats dilihat dari segi korma sebagai satu jenis tanaman.

Ini semua diabaikan oleh sang ustadz yang mulia, lalu ia menafsirkan kata al-‘ahah itu sesuai ‘seleranya’ sendiri. Wala haula wala quwwata illa billah.

Untuk melihat makna hadits ini secara lebih menyeluruh, mari kita perhatikan hadits riwayat Imam Bukhari yang sesungguhnya adalah hadits asal dalam masalah ini.

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَايَعُونَ الثِّمَارَ، فَإِذَا جَذَّ النَّاسُ وَحَضَرَ تَقَاضِيهِمْ، قَالَ المُبْتَاعُ: إِنَّهُ أَصَابَ الثَّمَرَ الدُّمَانُ، أَصَابَهُ مُرَاضٌ، أَصَابَهُ قُشَامٌ، عَاهَاتٌ يَحْتَجُّونَ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا كَثُرَتْ عِنْدَهُ الخُصُومَةُ فِي ذَلِكَ: «فَإِمَّا لاَ، فَلاَ تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُ الثَّمَرِ» كَالْمَشُورَةِ يُشِيرُ بِهَا لِكَثْرَةِ خُصُومَتِهِمْ 
وَأَخْبَرَ خَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ: لَمْ يَكُنْ يَبِيعُ ثِمَارَ أَرْضِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الثُّرَيَّا، فَيَتَبَيَّنَ الأَصْفَرُ مِنَ الأَحْمَرِ (رواه البخاري رقم 2193).
Dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata : Pada masa Rasulullah Saw, orang-orang biasa menjual buah-buahan. Ketika tiba saat memetik, ada pembeli yang berkata: “Buah ini ada duman, muradh, atau qusyam…” berbagai bentuk cacat (atau hama tanaman) yang mereka jadikan sebagai alasan (untuk membatalkan pembelian atau mengurangi harga). Ketika hal itu sering menimbulkan polemik dan sengketa, akhirnya Nabi Saw berkata: “Kalau kalian mesti juga (untuk menjual buah-buahan yang masih di atas pohon) maka jangan jual sampai tampak masaknya buah itu.” Ini saran Nabi untuk mereka karena masalah ini sering menimbulkan pertikaian.

Kharijah bin Zaid bin Tsabit mengatakan, “Zaid bin Tsabit (ayah Kharijah yang meriwayatkan hadits ini dan juga sahabat dekat Nabi Saw), tidak mau menjual buah-buahan di kebunnya sampai tampak tsurayya, agar jelas mana yang masih kuning dan mana yang sudah merah (matang).

Apa tujuan Nabi melarang menjual buah-buahan, khususnya buah korma, sebelum jelas masaknya? Tujuannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas adalah agar tidak terjadi pertikaian, silang sengketa, atau konflik antara penjual dan pembeli. Juga agar tidak ada harta orang yang dimakan secara haram. Seandainya buah dijual sebelum terbukti masak dan layak untuk dikonsumsi, kalau setelah berpindah ke tangan pembeli ternyata buah itu ada cacat, bukankah dengan demikian si penjual telah memakan uang si pembeli secara haram? Atau kalau buah kormanya tidak memiliki cacat, tapi si pembeli ingin membatalkan pembeliannya, lalu ia berbohong bahwa buah korma itu cacat, bukankah ia telah memakan harta si penjual secara batil?

-----
Terakhir mari kita lihat apa sesungguhnya yang dimaksud dengan طُلُوْعُ الثُّرَيَّا (terbitnya bintang)?
Imam ath-Thahawi dalam kitabnya Syarah Musykil al-Atsar memaparkan bahwa yang dimaksud dengan ‘bintang’ dalam hadits ini adalah ats-tsurayya, dan ats-tsurayya itu dalam kalender orang-orang Mesir Kuno muncul pada bulan Basyans. Sementara bulan Basyans itu sendiri menurut kalender orang-orang Suryani yang dijadikan acuan oleh masyarakat Irak adalah bulan Ayar. Bulan ini dalam kalender Masehi adalah bulan Mei.

Terlepas dari benar atau tidaknya analisa Imam Thahawi tentang hal ini (beliau bahkan sampai pada perhitungan hari atau tanggal kapan wabah atau hama tanaman itu akan terangkat dari bumi), tapi mari kita lihat makna yang tersirat dari kata طُلُوْعُ الثُّرَيَّا .

Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, setelah mensyarah hadits di atas, mengatakan:

فالمعتبر في الحقيقة النضج وطلوع النجم علامة له
Sebenarnya yang menjadi patokan dalam hal ini adalah masak atau matangnya (buah-buahan). Adapun munculnya bintang, itu hanyalah pertanda saja.

Hal ini juga diaminkan oleh Syekh Ahmad as-Sa’ati dalam al-Fath ar-Rabbani (9/55). Artinya, yang menjadi fokus dalam hadits ini sesungguhnya adalah penegasan bahwa buah-buahan yang masih di batangnya tidak boleh dijual sampai benar-benar terlihat dan terbukti kalau ia telah matang, baik matangnya itu ditandai dengan warnanya yang sudah merah maupun dengan terbitnya bintang di langit.

Namun saya sendiri lebih cenderung mengartikan kata النَّجْمُ dalam hadits ini dengan tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan itu sendiri, bukan bintang. Sehingga arti dari kalimat طَلَعَ النَّجْمُ adalah : sampai muncul (tampak) buahnya.

Ini didasarkan kepada arti kata النَّجْمُ seperti yang dijelaskan oleh Ibnu al-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar (5/24) dan sesuai dengan arti kata ini dalam QS. Ar-Rahman ayat 6 :

وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
Syekh Thahir bin Asyur dalam tafsirnya; Tahrir wa Tanwir menukil dari Ibnu Abbas bahwa maksud dari kata النَّجْمُ dalam ayat ini adalah tanaman yang tidak bertangkai.

Makna ini juga terlihat lebih seirama dengan konteks (siyaq) hadits. Wallahu a’lam.

Oleh: Ust. Yendri Junaidi, Lc. M.A
Bagikan :
+
Next
This is the current newest page
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Benarkah Wabah Covid-19 Akan Berakhir di Bulan Mei?"

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top