MENGAPA MENYENTUH MAHROM TIDAK MEMBATALKAN WUDLU’? PADAHAL DALAM AL-QUR’AN DISEBUTKAN ‘PEREMPUAN’ SECARA UMUM Analisi Argumentasi Ulama’ Syafi’iy

MENGAPA MENYENTUH MAHROM TIDAK MEMBATALKAN WUDLU’? PADAHAL DALAM AL-QUR’AN DISEBUTKAN ‘PEREMPUAN’ SECARA UMUM Analisi Argumentasi Ulama’ Syafi’iy

Dalam kajian fiqh syafi’iy disebutkan, salah satu hal yang membatalkan wudlu adalah ‘menyentuh wanita dewasa yang bukan mahrom’. Terminology ‘Mahrom’ dalam fiqh syafi’iy diartikan dengan ‘wanita yang selamanya haram untuk dinikahi’. baik karna hubungan nasab, satu susuan, maupun hubungan mertua.

Kata ‘mahrom’ sering kali disalah ucapkan oleh banyak orang dengan sebutan ‘muhrim’. Padahal makna ‘muhrim’ adalah orang yang sedang ihrom yang secara sederhana bisa diartikan ‘orang yang sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh’.

Namun, Tulisan tidak akan membicarakan ‘kesalahan ucapan’ tersebut, biarlah orang lain yang membahasnya. tulisan ini akan mencoba menganalisa argumentasi dan metologi ulama syafi’iyyah dalam menetapkan hukum ‘tidak batalnya wudlu karna menyentuh wanita yang berstatus mahrom atau wanita yang masih kecil’.

Dalam kitab al-Mahalliy Hamiys Hasyiyata Qolyubi wa Umairoh (I, 37) disebutkan:

( الثَّالِثُ : الْتِقَاءُ بَشَرَتَيْ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ ) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى { أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ } أَيْ لَمَسْتُمْ كَمَا قُرِئَ بِهِ ، وَاللَّمْسُ الْجَسُّ بِالْيَدِ كَمَا فَسَّرَهُ بِهِ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا . وَالْمَعْنَى فِي النَّقْضِ بِهِ أَنَّهُ مَظِنَّةٌ لِلِالْتِذَاذِ الْمُثِيرِ لِلشَّهْوَةِ وَمِثْلُهُ فِي ذَلِكَ بَاقِي صُوَرِ الِالْتِقَاءِ ، فَأُلْحِقَ بِهِ وَأُطْلِقَ عَلَيْهِ فِي الْبَابِ اللَّمْسُ تَوَسُّعًا ( إلَّا مَحْرَمًا ) فَلَا يَنْقُضُ لَمْسُهَا ( فِي الْأَظْهَرِ ) لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مَحَلًّا لِلشَّهْوَةِ ، وَالثَّانِي يَنْقُضُ لِعُمُومِ النِّسَاءِ فِي الْآيَةِ ، وَالْأَوَّلُ اسْتَنْبَطَ مِنْهَا مَعْنًى خَصَّصَهَا ، وَالْمَحْرَمُ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَة. هامش حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 1 / ص 37)
Artinya:  (yang ketiga, bersentuhnya kulit laki-laki dan perempuan). Alloh ta’ala berfirman {atau kalian menyentuh wanita}, yakni kalian sungguh-sungguh menyentuhnya sebagaimana qiroah lain. Arti kata ‘Lamsu’ adalah memegang dengan menggunakan tangan sebagaimana penafsiran Ibnu Umar RA. Alasan tersirat [ma’na] batalnya wudlu karnanya adalah ‘adanya dugaan kuat akan menimbulkan kenikmatan yang dapat membangkitkan syahwat’. dan itu juga berlaku pada bersentuhan selain menggunakan tangan, oleh karna itu, hukumnya disamakan. Menyebutkan kata ‘al-lamsu’ dalam bab ini dalam arti metaforiknya. (kecuali mahrom) maka tidak batal menyentuhnya (menurut qoul adzhar), sebab bukan tempatnya syahwat [orang yang biasanya disyahwati]. Menurut qoul yang kedua, [menyentuh mahram] dapat membatalkan wudlu’, sebab, kata perempuan (nisa’) dalam ayat tersebut berlaku secara umum [baik mahram atau bukan]. Pendapat pertama, menggali hukum dengan ayat tesebut [dengan mempertimbangkan] alasan tersirat yang membatasi keumumannya. Mahrom adalah, orang yang haram dinikahi, baik sebab nasab, satu susuan atau hubungan mertua. (Hamisy Hasyiyata Qolyubi wa Umairoh: I, 37).

Teks diatas mengantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama Syafi’iyyah mengenai ‘batal dan tidaknya menyentuh perempuan’. Menurut qoul adzhar yang merupakan pendapat tekuat menyatakan, ‘menyentuh wanita dapat membatalkan wudlu kecuali jika yang disentuh adalah wanita yang statusnya sebagai mahrom’. Sedangkan pendapat kedua menyatakan; ‘menyentuh wanita dapat membatalkan wudlu, baik wanita tesebut berstatus mahrom atau bukan’.

Argumentasi legal formal (dalil naqliy) yang dijadikan pijakan kedua pendapat ini berupa ayat al-Qur’an yang berbunyi:  أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ  yang artinya:  “atau kalian menyentuh wanita”.

Lafad al-Nisa’ yang memiliki arti wanita, dalam redaksi ayat diatas memiliki cakupan makna general. yakni, wanita secara umum, baik wanita yang berstatus sebagai mahrom atau bukan. Namun, jika kita membuka lembaran-lembaran kitab fiqh Syafi’i, kita akan menemukan fakta bahwa para ulama Syafi’iyyah lebih cenderung pada pendapat yang menggatakan, “menyentuh wanita dewasa dapat membatalkan wudlu’. Kecuali jika yang disentuh wanita yang berstatus sebagai mahrom”. Padahal ayat yang dijadikan dalil oleh mereka membicarakan wanita secara umum. Tentu ini hal ini menarik untuk dicari jawabannya, apa yang melatar belakangi ulama Syafi’iyyah berpendapat demikian?

Untuk memahami pendapat ulama dengan baik, maka kita tidak boleh hanya melihat teks dalil al-Qur’an maupun hadits saja. namun juga harus meninjau perangkat metodologi (baca: ushul fiqh) yang merupakan pisau analisis yang digunakan oleh para ulama dalam mengurai makna teks al-Qur’an maupun hadits tersebut.

Dalam kajian ushul fiqh syafi’iy, terjadi perbedaan pendapat tentang bagaimana cara memahami redaksi dalil yang general (al-‘umum). Apakah harus mempertahankan makna literal dengan memberlakukan dalil tersebut secara general, ataukah boleh mereftriksi (takhsish) generalitas dalil tersebut berdasarkan pesan tersembunyi (ma’na) dibalik teks tersebut?  Hal ini diungkapkann oleh al-Zarkasyi sebagai berikut:

وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْهُ مَعْنًى يُخَصِّصُهُ ؟ فِيهِ قَوْلَانِ . تَرَدَّدَ فِيهِمَا التَّرْجِيحُ وَقَالَ إلْكِيَا فِي الْمَدَارِكِ " : الْمَنْقُولُ عَنْ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَخْصِيصُ الْعُمُومِ بِالْمَعْنَى ، لِأَنَّ الْعُمُومَ يَنْبَغِي أَنْ يُفْهَمَ ، ثُمَّ يُبْحَثَ عَنْ دَلِيلِهِ ، فَإِنَّ فَهْمَ مَعْنَى اللَّفْظِ سَابِقٌ عَلَى فَهْمِ مَعْنَاهُ الْمُسْتَنْبَطِ ، وَإِذَا فُهِمَ عُمُومُهُ ، فَكَيْفَ يُتَّجَهُ بِنَاءُ عِلَّةٍ عَلَى خِلَافِ مَا فُهِمَ مِنْهُ ؟ قَالَ : وَيُتَّجَهُ لِلْمُخَالِفِ أَنْ يَقُولَ : الْمَعْنَى الَّذِي يُفْهَمُ مِنْ الْعُمُومِ فِي النَّظَرِ الثَّانِي رُبَّمَا نَرَاهُ أَوْفَقَ لِمَوْضُوعِ اللَّفْظِ وَمِنْهَاجِ الشَّرْعِ ، وَذَلِكَ تَنْبِيهٌ إمَّا بِفَحْوَى الْخِطَابِ وَمَخْرَجِ الْكَلَامِ ، وَإِمَّا بِأَمَارَةٍ أُخْرَى تَفْصِلُ بِالْكَلَامِ ، وَذَلِكَ رَاجِحٌ عَلَى مَا ظَهَرَ مِنْ اللَّفْظِ ، وَهَذَا الْمَعْنَى لَا يُقَدَّرُ مُخَالِفًا لِلَّفْظِ ، وَلَكِنْ يُقَدَّرُ بَيَانًا لَهُ ، فَاَلَّذِي فَهِمْنَاهُ أَوَّلًا الْعُمُومَ ، ثُمَّ النَّظَرُ الثَّانِي يُبَيِّنُ أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْخُصُوصُ ، فَغَلَبَ مَعْهُودُ الشَّرْعِ عَلَى مَعْنَى ظَاهِرِ اللَّفْظِ . البحر المحيط  - (ج 4 / ص 501-500)
Artinya:  apakah boleh menggali hukum dari sebuah dalil [baik al-Qur’an maupun hadits] berdasarkan alasan tersirat [ma’na] yang membatasi kuumumannya? Dalam hal ini ada dua pendapat, [para ulama syafi’iyyah] berbeda pandangan tentang manakan diantara keduanya yang paling kuat. Imam al-Ilkiya dalam kitab al-Madarik mengatakan “[berdasarkan] pendapat yang dinuqil dari imam Syafi’i bahwasanya tidak diperbolehkan membatasi keumuman [al-Qur’an maupun hadits] berdasarkan alasan yang tersirat (ma’na). sebab, keumuman sebuah dalil selayaknya dipahami [terlebih dahulu], kemudian dikaji dalilnya. Karna, memahami makna literal [sebuah dalil] lebih dahulu dibandingkan dengan memahami alasan tersirat yang digali [dari dalil tersebut]. Bagaimana mungkin membuat alasan tersirat yang berbeda dengan pemahaman dari dalil tersebut?. Ulama yang tidak sependapat dengan ini akan memberikan bantahan, ‘alasan tersirat yang dipaham dari generalitas [dalil] pada tinjauan tahap kedua [setelah memahami makna literal] kadang kala kita lihat lebih relevan dengan sasaran teks dan metode syara’. Yang demikian ini adalah sebuah pengingat, adakalanya dengan ‘fahwa al-khitob’ (apa yang tidak dibicarakan dalam teks sesuai denga apa yang dibicarakan), ‘makroj al-kalam’ (pemahaman berdasarkan makan literal) atau indikator lain yang diklasifikasi berdasarkan teks. Hal ini mengacu pada apa yang nampak dari teks [dalil tersebut]. Alasan tersirat [dalam teks] diperkirakan tidak berlawanan dengan teks yang ada, melainkan diperkirakan sebagai penjelasan atasnya. Pertama-tama, Apa yang kita pahami [dari dalil tersebut] adalah makna general. Tinjauan ulang pada fase kedua menunjukkan bahwa maksud dalil tesebut ternyata spesifik. Dengan demikan, pesan tersirat syara’ (ma’hum al-syar’i) mengalahkan makna literal teks. (al-Bahr al-Muhith: IV, 500-501)

Perbedaan metodologi inilah yang menjadi muara munculnya perbedaan pendapat dikalangan ulama Syafi’i mengenai batal dan tidaknya menyentuh wanita yang berstatus mahrom. Ulama yang mengharuskan mempertahankan makna literal dengan memberlakukan dalil secara general berpandangan, kata ‘al-nisa’ yang bermakna ‘wanita’ dalam ayat diatas haruslah diberlakukan secara general tanpa ada pengecualian. Dengan demikian, ‘menyentuh wanita baik mahrom atau bukan dapat membatalkan wudlu’, sebab masuk dalam cakupan teks ayat diatas.

Sementara, Ulama yang memperbolehkan mereftriksi (takhsish) generalitas dalil berdasarkan pesan tersembunyi (ma’na) mengakajinya lebih dalam lagi, mereka tidak hanya melihat literal teks, namun juga menganalisis ‘pesan tersembunyi’ dibalik teks tersebut, mengapa menyentuh dapat membatalkan wudlu’?

Setelah mengalisis dengan sekasama dalil-dalil yang ada disertai dengan perenungan yang mendalam, mereka menemukan ‘pesan tersembunyi’ dibalik teks:  أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ  tersebut berupa; ‘adanya dugaan kuat akan menimbulkan kenikmatan yang dapat membangkitkan syahwat’. Sehingga dengan demikian, cakupan  kata ‘al-nisa’ dalam ayat diatas tidaklah berlaku secara umum, melainkan hanya pada wanita-wanita yang diduga kuat dapat menimbulkan syahwat tatkala disentuh. yaitu wanita-wanita yang tidak berstatus sebagai mahrom saja. Sedangkan wanita yang berstatus sebagai mahrom tidak masuk dalam cakupan ayat tersebut, karna pada umumnya seseorang tidak bangkit syahwatnya tatkala menyentuh mahromnya.

Untuk menemukan ‘pesan tersembunyi’ dibalik teks bukanlah urusan mudah yang semua orang bisa melakukan. sebab, untuk menemukannya seseorang diharuskan meneliti keseluruhan -atau paling tidak mayoritas- dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut, dan ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid.

Dari kedua metodogi tersebut, pendapat yang dinilai kuat (ashoh) oleh ulama Syafi’iyyah adalah pendapat kedua yang memperbolehkan mereftriksi (takhsish) generalitas dalil berdasarkan pesan tersembunyi (ma’na).

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Zakariyya al-Anshoriy sebagai berikut:

(ويجوز عودها) على الأصل (بالتخصيص) له (في الأصح غالبا). فلا يشترط عدمه كتعليل الحكم في آية {أو لامستم النساء} بأن اللمس مظنة التمتع أي التلذذ، فإنه يخرج من النساء المحارم فلا ينقض لمسهن الوضوء، وقيل لا يجوز ذلك فيشترط عدم التخصيص، فينقض لمس المحارم الوضوء عملاً بالعموم. غاية الوصول في شرح لب الأصول - (ص 122)
Artinya: (dalam banyak kasus, diperbolehkan meriftriksi hukum asal menurut qoul ashoh) maka tidak disyaratkan tidak adanya takhsis. Misalnya, memberikan illah hukum pada ayat  أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ  dengan “menyentuh diduga kuat menyebabkan nikmat”. Dengan demikian, wanita yang berstatus sebagai mahrom dikecualikan dari lafad “al-nisa’” (wanita), sehingga tidak membatalkan wudlu tatkala menyentuhnya. Ada pula yang mengatakan tidak boleh, maka disyaratkan tidak adanya takhsis. Sehingga menyentuh mahrom dapat membatalkan wudlu dengan mempertimbangkan general teks. (Ghoyah al-Wushul: 122)

    Karna pendapat “yang memperbolehkan mereftriksi (takhsish) generalitas dalil berdasarkan pesan tersembunyi (ma’na)” dinilai lebih kuat, maka akan dapati pula bahwa pendapat yang mengatakan “menyentuh wanita yang berstatus mahrom tidak membatalkan wudlu’” juga merupakan pendapat yang paling kuat dibanding pendapat yang lain. Karna hasil (baca: fiqh) tidak akan melenceng dari metode (ushul fiqh).

    Kendatipun metode ini merupakan pendapat terkuat, namun bukan berarti sempurna tanpa cacat. Sebab, masih menyisakan seklumit problematika yang harus dipecahkan. Hal ini diungkapkan oleh imam al-Qolyubiy sebagai berikut:

( وَالْأَوَّلُ اسْتَنْبَطَ مِنْهَا مَعْنًى خَصَّصَهَا ) اعْتَرَضَ عَلَى هَذَا الِاسْتِنْبَاطِ بِعَدَمِ تَعَدِّيهِ لِلْمَيْتَةِ ، أَيْ مَعَ أَنَّهَا لَا تُشْتَهَى وَتَنْقُضُ . حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 1 / ص 37)
Artinya: (Pendapat pertama, menggali hukum dengan ayat tesebut [dengan  mempertimbangkan] alasan tersirat yang membatasi keumumannya), penggalian hukum dengan cara demikian ini terbantahkan dengan tidak dicakupnya wanita yang meninggal, padahal tidak disyahwati namun dapat membatalkan [wudlu]. (Hasyiyata Qolyubi wa Umairoh: I, 37)

Jika yang menjadi acuan batalnya wudlu karna “diduga kuat dapat membangkitkan syahwat, lalu mengapa menyentuh wanita yang sudah meninggal dunia juga bisa membatalkan wudlu’. bukankah wanita yang sudah meninggal dunia umumnya tidak disyahwati sebagaimana wanita yang berstatus mahrom. Mengapa dua kasus dengan illah yang sama memiliki hukum berbeda? Begitulah bantahan imam Qolyubiy terhadap pendapat diatas.

Menjawab bantahan ini, imam Taqiyuddin al-Hishniy menjelaskan:
وفي الميتة خلاف صحح النووي في شرح المهذب القطع بالانتقاض، وصحح في كتابه رؤوس المسائل عدم النقض، والخلاف مبني على اللفظ والمعنى كالمحارم، فعلى ما في شرح المهذب وهو النقض ما الفرق بين المحارم والميتة؟ وفي الفرق عسر، وقد يفرق بإمكان عود الحياة في الميتة بخلاف المحارم والله أعلم. كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار - (ص 38)
Artinya:  terjadi berbeda pendapat [mengenai batalnya wudlu karna menyentuh] wanita yang telah meninggal dunia. Imam Nawawi dalam Syarh al-Muhaddzab menshohihkan pendapat yang membatalkan. Namun, dapat kitab Ruus al-Masail menshohihkan pendapat yang tidak membatalkan. Kalau mengacu pada keterangan yang terdapat dalam Syarh al-Muhaddzab yang mengatakan ‘membatalkan’, apa perbedaan antara mahrom dan wanita yang meninggal [diduga kuat keduanya sama-sama tidak disyahwati namun memiliki hukum yang berbeda]? Membedakannya sulit. Namun bisa juga dibedakan dengan adanya kemungkinan hidup kembali pada wanita yang meninggal. Lain halnya dengan mahrom. (Kifayah al-Akhyar: I, 38).

Perbedaan antara wanita yang meninggal dunia dengan wanita yang berstatus mahrom amatlah sulit, sebab keduanya sama-sama tidak disyahwati namun memiliki hukum yang berbeda. Kesulitan ini diakui sendiri oleh beliau. Kendatipun demikian, beliau mencoba memberikan sedikit analisa tentang perbedaan diantara keduanya. Beliau menyatakan; dua kasus dengan illah yang sama namun hukumnya berbeda dalam kasus ini disebabkan, wanita yang sudah meninggal dunia masih ada kemungkinan untuk hidup kembali, sekalipun ini jarang terjadi. Namun tidak demikian dengan wanita yang berstatus sebagai mahrom, mereka tidak mungkin berubah menjadi non mahrom dalam keadaan apapaun.


Refrensi:
Al-Hishniy, Taqiyuddin, Kifayah al-Akhyar, Damaskus: Dar al-Khoir
Al-Anshoriy, Zakariyya, Ghoyah al-Wushul, Mesir: Dar al-Kutub al-Arobiyyah al-Kubro
Al-Zarkasyi, Badruddin, al-Bahr al-Muhith, Kairo: Dar al-Kutubiy
Al-Mahalliy, Jalaluddin, al-Mahalliy Hamisy Hasyiyata Qolyubiy wa Umairoh, Bairut: Dar al-Fikr
Qolyubiy dan Umairoh,  Hasyiyata Qolyubiy wa Umairoh, Bairut: Dar al-Fikr






Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "MENGAPA MENYENTUH MAHROM TIDAK MEMBATALKAN WUDLU’? PADAHAL DALAM AL-QUR’AN DISEBUTKAN ‘PEREMPUAN’ SECARA UMUM Analisi Argumentasi Ulama’ Syafi’iy"

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top