Salah satu bidang ke ilmuan yang dikreasikan oleh Ulama Mutaakhirin adalah Takhrij Hadits. Takrij Hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Mahmud Tohhan adalah: “usaha sistematis untuk menhubungkan sebuah hadits dengan sumber ashlinya yang telah dikumpulkan oleh para pakar hadits dan menunjukkan tempat dimana hadits tersebut berada dengan menjelaskan derajat hadits tersebut jikalau memang membutuhkan. (Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah wa Juhuduhu fi Khidamtis Sunnah an-Nabawiyah wa Ulumuhu: II, 9)
Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan takhrij hadits ialah usaha sistematis untuk memperoleh hukum sebuah hadits dan menjelaskan status sebuah hadits, apakah hadits itu do’if, hasan atau shohih. Karna hanya dengan metode ini seseorang bisa tahu jalur dan sanad sebuah hadits, sehingga dari situ seseorang bisa dengan tepat menghukumi sebuah hadits.
Dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal terdapat sebuah hadits yang menjelaskan larangan (makruh) bagi keluarga duka untuk menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang berkumpul disana. Adapun redaksi hadits tersebut:

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ. مسند أحمد - (ج 11 / ص 505)
Artinya: Saya (imam Ahmad) mendapat hadits dari Nashr bin Bab dari Ismail, [Ismail] dari Qois, [Qois] Dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy, beliau berkata: kami menilai berkumpul dirumah duka dan membuat suguhan setelah prosesi pemakaman termasuk tindakan meratap. (Musnad Ahmad: XI, 505)
Hadits diatas banyak dicantumkan oleh ulama fiqh dari berbagai madzhab (baca: madzahib al-Arba’ah) dalam karya-karya mereka sebagai dalil akan kemakruhan keluarga duka membuat makanan untuk disuguhkan kepada orang-orang yang berkumpul disana.
Hadits diatas menurut penilaian imam Nawawi memiliki sanad shohih. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab sebagai berikut:
قَالَ صَاحِبُ الشَامِلِ وَغَيْرُهُ وَأَمَّا اِصْلَاحُ اَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَاسِ عَلَيْهَ فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَيْئٌ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرَ مُسْتَحَبَّةٍ هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الشَامِلِ وَيَسْتَدِلُّ لِهَذَا بِحَدِيْثِ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ الله رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ " كُنَّا نَعُدُّ الاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِيَاحَة " رَوَاهُ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَل وَابْنُ مَاجَه بِاِسْنَادٍ صَحِيْحٍ وَلَيْسَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَه بَعْدَ دَفْنِهِ. المجموع - (ج 5 / ص 320)
Artinya: Pengarang kitab al-Syamil (Ibnu al-Shobbagh) dan lainnya berkata: pembuatan makanan oleh keluarga duka dan berkumpulnya orang-orang atas makanan tersebut tidaklah memiliki dasar sama sekali, hal yang demikian ini merupakan bid’ah yang tidak disunnahkan. Seperti inilah pernyataan Pengarang kitab al-Syamil (Ibnu al-Shobbagh). Adapun dalil yang digunakan untuk masalah ini adalah hadits dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy, beliau berkata: ”kami menilai berkumpul dirumah duka dan membuat suguhan setelah pemakaman termasuk tindakan meratap”. HR. Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dengan sanad shohih, hanya saja dalam riwayat ibnu Majah tanpa adanya redaksi بَعْدَ دَفْنِهِ (setelah prosesi pemakaman). (al-Majmu’: V, 320).
Bukan hanya imam Nawawiy, dalam catatan kaki Musnad Ahmad bin Hambal ada sebuah keterangan:
حديث صحيح. نصر بن باب –وان كان ضعيف الحديث- متابع, وبقية رجاله ثقات رجال الشيخين. اسماعيل: هو ابن أبي خالد, وقيس: هو ابن ابي حازم. تعليق مسند أحمد - (ج 11 / ص 505)
Artinya: [hadits Jarir diatas merupakan] hadits shohih. Nasrh bin Bab –sekalipun lemah haditsnya- adalah seorang mutabi’. Sedangkan perowi yang lain merupakan para perowi terpercaya (tsiqoh) dan merupakan para perowi hadits bukhori dan muslim. Isma’il adalah putra Abi Kholid. Sedangkan Qois adalah putra Abi Hazm. (Ta’liq Musnad Ahmad: XI, 505)
Sebagaimana bisa kita saksikan bersama, Imam Ahmad menyebutkan empat mata rantai (sanad) hadits Jarir diatas, yakni. Nashr bin Bab, Isma’il ibnu Abi Kholid, Qois ibnu Abi Hazim dan Jarir bin Abdillah al-Bajaliy.
Isma’il ibnu Abi Kholid, Qois ibnu Abi Hazim dan Jarir bin Abdillah al-Bajaliy merupakan para perowi hadits Bukhori dan Muslim, sehingga kreadibelitasnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Sedangkan perihal Nashr bin Bab, ulama berbeda pendapat, namun imam Ahmad sendiri menyatakan, bahwa dia adalah orang yang terpercaya.
نصر بن باب وهو ابن سهل الخراساني تركه جماعة وقال البخاري يرمونه بالكذب وقال ابن معين ليس حديثه بشيئ وقال ابن حبان لا يحتج به وقال ابو حاتم متروك وضعفه ابن المديني والنسائي وابو داود وغيرهم وقال ابن عدي ومع ضعفه يكتب حديثه وقال احمد ما كان به بأس وفي لسان الميزان عن تاريخ نيسابور عن احمد قال هو ثقة.. تعليق مسند أحمد - (ج 3 / ص 279)
Artinya: Nasrh bin Bab adalah putra Sahl al-Khorosaniy, dia ditinggalkan (tidak diambil haditsnya) oleh sekelompok ulama. Al-Bukhori berkata: orang-orang menuduh dia melakukan kebohongan. Ibnu Ma’in berkata: haditsnya sedikit. Ibnu Hibban berkata: haditsnya tidak bisa dijadikan Hujjah. Abu Hatim berkata: Nashr bin Bab ditinggalkan haditsnya. Ibnu al-Mudainiy, al-Nasa’iy, Abu Dawud dan lainnya menilainya dlo’if. Ibnu Addiy berkata: sekalipun dia dlo’if, namun haditsnya bisa ditulis (diterima). Imam Ahmad berkata: dia tidak bermasalah. Dalam kitab Lisan al-Mizan [dengan mengutip] dari Tarikh Naisabur, bahwasanya imam Ahmad berkata: Dia terpercaya. (Ta’liq Musnad Ahmad: III, 279)
Ulama berbeda pendapat mengenai tokoh Nashr bin Bab yang merupakan salah satu matarantai dalam hadits Jarir diatas, namun imam Ahmad sendiri selaku pengarang kitab Musnad Ahmad, menilai dia seorang perowi yang terpercaya. Dengan adanya penilaian imam Ahmad selaku pengarang kitab Musnad, maka sudah jelas, bahwa hadits Jarir dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jika ditinjau dari sanad tidak memiliki masalah. Dengan demikian, jelaslah apa yang dikatakan oleh imam Nawawi dalam Majmu’nya, bahwa hadits ini sanadnya shohih
Setelah kita memahami status para perowi diatas, pertayaan selanjutnya, apakah hadits diatas bisa diamalkan dan dijadikan dalil hukum (hujjah)? Sebagaimana yang saya katakan diatas, para ulama dari berbagai madzhab menjadikan hadits ini sebagai dalil akan kemakruhan kelurga duka membuat suguhan untuk orang-orang yang berkumpul dirumah duka. Bahkan secara tegas, Hisamuddin al-Rohmaniy al-Mubarokfuriy –dengan mengutip pernyataan al-Sanadiy- selaku komentator kitab Miskat al-Mashobih menyatakan:
حَدِيثُ جَرِيرٍ بن عبد الله هذا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ بِلَفْظِ : قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ. قال السندي: قوله كُنَّا نَعُدُّ الخ. هَذَا بِمَنْزِلَةِ اِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ اَوْ تَقْرِيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم. وَعَلَى الثَانِي فَحُكْمُهُ الرَفْعُ عَلىَ التَقْدِيْرَيْنِ فَهُوَ حُجَّةٌ ثُمَّ نُقِلَ عَنِ البُوْصِيْرِي اَنَّهُ قَالَ فِى الزَوَائِد: اِسْنَادُهُ صَحِيْحُ اِنْتَهَى. مرعاة المفاتيح- (ج 5 / ص 481)
Artinya: hadits Jarir bin Abdillah al-Bajaliy ini diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan lafadz: “kami menilai berkumpul dirumah duka dan suguhan makanan dari mereka setelah pemakaman sebagai bentuk ratapan”. Al-Sanadiy berkata: teks ”kami menilai...” setara dengan riwayat konsensus para sahabat atau ketetapan (taqrir) dari Nabi saw. Andaikan kita berpijak pada yang kedua (baca: setara dengan taqrir nabi), maka masuk katagoti hadits marfu’. hadits ini bisa dijadikan hujjah dengan berpijak pada kedua kemungkinan diatas. Lalu beliau mengutip pernyataan al-Bushiriy dalam al-Zawaid bahwa beliau berkata: sanad hadits ini shohih. (Mir’ah al-Mafatih: V, 481)
Jadi jelaslah, bahwa Hadits Jarir bin Abdillah al-Bajaliy bisa diamalkan kandungannya dan dapat dijadikan pijakan hukum (hujjah).
Lalu bagaimana dengan informasi imam Abu Dawud dalam kitab Masail, yang menjadi bahasan kali ini (paparan dari Akhina Fillah, Ust. Muhammad Bhagas)
ذكرت لاحمد حديث هشيم عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيرِ "كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عند أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِعَةَ الطَّعَامِ لهم من امر الجاهلية". قال: زعموا انه سمعه من شريك. قال أحمد: وما ارى لهذا الحديث أصل. مسائل الامام أحمد رواية ابي داود السجستاني - (ص 389)
Artinya: Saya pernah menuturkan hadits Husyaim, dari Ismail, [Ismail] dari Qois, [Qois] Dari Jarir [yang berbunyi]: kami menilai berkumpul dirumah duka dan membuat suguhan termasuk tradisi Jahiliy. Dia berkata: mereka mengira bahwa beliau mendangar hadits tersebut dari Syuraik. Imam Ahmad menjawab: saya tidak pernah melihat (tahu) sanad hadits ini. (Masail Imam Ahmad: 389)
Perlu diketahui sebelumnya, dalam matarantai hadits Jarir yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal tidak terdapat perowi yang bernama Husyaim. Sebagaiman yang saya jelaskan diatas, perowi dalam musnad Ahmad ada empat; yaitu Nashr bin Bab, Isma’il ibnu Abi Kholid, Qois ibnu Abi Hazim dan Jarir bin Abdillah al-Bajaliy. Hasyim tidak terdaftar dalam dalam matarantai Musnad Ahmad. Disisi lain, kalau kita cermati dengan sekasama, redaksi hadits yang disampaikan oleh Abu Dawud berbeda dengan redaksi yang disampaikan oleh imam Ahmad.
Oleh karna itu, pada pada saat beliau ditanyakan mengenai hadits diatas, beliau menjawab: “saya tidak pernah melihat atau mengetahui asal hadits ini”, yang mengindikasikan bahwa beliau tidak mengetahui ‘SANAD’ hadits ini, hanya sebatas sanad, bukan matannya.
Sekedar untuk diketahui, kata ما ارى لهذا الحديث أصل dan sebagainya yang biasa terdapat dalam kitab-kitab hadits bukan berarti hadits itu maudlu’, dlo’if dan sebagainya, melainkan ulama tersebut tidak menemukan sanadnya, bukan muatan haditsnya (matan). Hal ini disampaikan oleh al-Baniy dengan menguti pernyataan oleh Ibnu Taymiyyah berikut:
قولهم في الحديث: لا أصل له، أو لا أصل له بهذا اللفظ، أو ليس له أصل، أو لا يعرف له أصل، أو لم يوجد له أصل، أو لم يوجد، أو نحو هذه الألفاظ، يريدون أن الحديث المذكور ليس له إسناد ينقل به". ثم نقل عن ابن تيمية أن معنى قولهم: ليس له أصل، أو لا أصل له، معناه: ليس له إسناد. قلت: فأنت ترى أن المنفي في هذه الأقوال إنما هو الإسناد، وليس المتن. شرح العقيدة الطحاوية ص 30-31)
Artinya: Pernyataan mereka dalam hadits, "tidak ada asalnya", "tidak memiliki asal dengan lafal ini", "tidak memiliki asal", "tidak diketahui memeliki asal", "belum ditemukan asalnya", "belum ditemukan", "kami tidak mengetahuinya", "kami belum mengetahuinya", "kami belum menemukannya", atau redaksi redaksi serupa, maksud mereka bahwa hadits tersebut tidak memiliki sanad yang menjadi sandarannya. Telah dikutip dari Ibnu Taymiyyah bahwa makna perkataan ulama’ “tidak memiliki asal” atau “tidak ada asalnya” maksudnya adalah hadits tersebut tidak memiliki sanad yang dijadikan sebagai sandaran. Komentar saya: kamu bisa melihat bahwa yang tidak ditemukan dalam hal ini ialah sanadnya bukan matannya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa maksud pernyataan dari imam Ahmad “saya tidak pernah melihat atau mengetahui asal hadits ini”, beliau tidak mengetahui hadits Jarir dengan matarantai seperti yang disebutkan oleh Abu Dawud kepada beliau. HANYA SEBATAS MATARANTAI BUKAN MUATAN HADITSNYA.
Dengan paparan data diatas, maka dengan sindiriya bantahan terhadap hadits Jarir bin Abdillah al-Bajaliy dalam Musnad Ahmad yang dilakukan oleh Akhina Fillah, Ust. Muhammad Bhagas sudah gugur dengan sendirinya. Karna tidak ada relevansi antara pernyataan dan bantahan, antara data dan fakta.
Adapun hadits Jarir dengan matarantai Husyaim, tidak terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, melainkan terdapat dalam Sunan Ibnu Majah. hanya saja, dalam Sunan Ibnu Majah tidak ada redaksi بَعْدَ دَفْنِهِ dalam haditsnya. Adapun haditsnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ح وَحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو الْفَضْلِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِى خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ. سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 514)
Artinya: Saya (Ibnu Majah) mendapatkan hadits dari Muhammad bin Yahya. Dia berkata: saya (Muhammad bin Yahya) mendapat hadits dari Sa’id bin Manshur dari Husyaim. Saya (Ibnu Majah) mendapatkan hadits dari Syuja’ bin Makhlad Abu al-Fadliy. Dia berkata: saya (Syuja’) mendapat hadits dari Husyaim dari Ismail bin Abi Kholid, [Ismail] dari Qois bin Abi Hazim, [Qois] Dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy, beliau berkata: kami menilai berkumpul dirumah duka dan membuat suguhan termasuk tindakan meratap. (Sunan Ibnu Majah: I, 514)
Dalam hadits diatas, Abu Dawud menyebutkan dua jalur matarantai yang sama-sama melewati Husyaim. Menurut imam al-Sanadiy selaku komentator Sunan Ibnu Majah, kedua jalur sanad hadits ini sama-sama shohih.
وَفِي الزَّوَائِد إِسْنَاده صَحِيح رِجَال الطَّرِيق الْأَوَّل عَلَى شَرْط الْبُخَارِيّ وَالثَّانِي عَلَى شَرْط مُسْلِم وَاَللَّه أَعْلَم .حاشية السندي على ابن ماجه - (ج 3 / ص 385)
Artinya: dalam kitab al-Zawaid [diterangkan]: sanad hadits ini shohih. Adapun perowi jalur pertama, merupakan perowi hadits Bukhoriy. Sedangkan jalur kedua merupakan perowi hadits Muslim. Wallohu A’lam. (Hasyiyah al-Sanadiy: III, 385)
Tidak hanya itu, beliau bahkan secara tegas menyatakan hadits Jarir dalam Sunan Ibnu Majah bisa dijadikan Hujjah.
( كُنَّا نَرَى ) هَذَا بِمَنْزِلَةِ رِوَايَة إِجْمَاع الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ أَوْ تَقْرِير النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى الثَّانِي فَحِكْمَة الرَّفْع عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ فَهُوَ حُجَّة. حاشية السندي على ابن ماجه - (ج 3 / ص 385)
Artinya: teks ”kami menilai...” setara dengan riwayat konsensus para sahabat atau ketetapan (taqrir) dari Nabi saw. Andaikan kita berpijak pada yang kedua (baca: setara dengan taqrir nabi), maka masuk katagoti hadits marfu’. hadits ini bisa dijadikan hujjah dengan berpijak pada kedua kemungkinan diatas. Lalu beliau mengutip pernyataan al-Bushiriy dalam al-Zawaid bahwa beliau berkata: sanad hadits ini shohih. (Hasyiyah al-Sanadiy: III, 385)
Paparan data diatas, kiranya sudah cukup untuk membantah pandangan sementara orang, bahwa hadits Jarir tidak bisa diamalkan. Sehingga, apa yang dilakukan oleh ulama fiqh yang mencantumkan hadits Jarir sebagai dalil kemakruhan memberikan suguhan kepada orang yang berkumpul dirumah duka dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyyah. Wallohu A’lam bis Showab
REFRENSI
Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats, Masail Imam Ahmad Riwayah Abu Dawud al-Sijistaniy, Mesir: Maktabah Ibnu Taymiyyah
Al-Mubarokfuriy, Hisamuddin al-Rohamiy, Mir’ah al-Mafatih, India: Idaroh al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Da’wah wa al-Irsyad.
Al-Nawawiy, Abu Zakariyya, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab. Bairut: Dar al-Fikr
Al-Sayyid, Jalal bin Muhammad, Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah wa Juhuduhu fi Khidamtis Sunnah an-Nabawiyah wa Ulumuhu. CD: al-Maktabah asy-Syamilah al-Ishdar al-Tsaniy
Ibnu Majah, Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah. Bairut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arobiyyah
Ibnu Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad. Bairut: Muassasah al-Risalah
0 Komentar untuk "BENARKAH HADITS YANG MELARANG SUGUHAN 7 HARI TIDAK BISA DIAMALKAN (Analisis Hadits Jarir bin Abdillah Al-Bajaliy) "