Salah satu amalan yang disunnah dilakukan pada malam atau hari jum’at ialah membaca surat al-Kahfi, memperbanyak membaca sholawat dan berdzikir kepada Alloh swt. Hal ini dinyatakan oleh imam Syafi’iy dalam kitab al-Umm sebagai berikut:
(قال الشافعي) وأحب كثره الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في كل حال وأنا في يوم الجمعة وليلتها اشد استحبابا وأحب قراءة الكهف ليلة الجمعة ويومها لما جاء فيها. الأم - (ج 1 / ص 239)
Artinya: imam Syafi’iy berkata: saya senang memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi saw dalam setiap keadaan, namun pada hari dan malam jum’at sangatlah disunnahkan. Saya senang membaca surat al-Kahfi pada malam dan hari jum’at berdasarkan hadits yang ada. (al-Umm: I, 239)
Kesunnahan ini didasarkan pada beberapa hadits shohih, antara lain hadits riwayat imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadroknya berikut:
المستدرك على الصحيحين للحاكم - (ج 8 / ص 37)
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « إن من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين » « هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه »
Artinya: dari Abi Sa’id al-Khudriy RA. Nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa yang membaca surat al-Kahfi dihari jum’at, maka Alloh akan akan menerangi dia dengan cahaya [pada waktu] antara dua jum’at”. Hadits ini sanadnya shohih, namun imam Bukhori dan Muslim tidak mencantumkan dalam kitab haditsnya. (a-Mustadrok ala al-Shohihaini: VIII, 37)
Disebutkan pula dalam kitab al-Jami’ al-Kabir karya al-Hafidz al-Suyuthiy
من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بينه وبين البيت العتيق. جمع الجوامع أو الجامع الكبير للسيوطي - (ج 1 / ص 24076)
Artinya: barang siapa membaca surat al-Kahfi dihari jum’at, maka Alloh menerangi dia dengan cahaya, antara dia dan baitul ‘athiq. (al-Mustadrok ala al-Shohihaini: VIII, 37)
Dalam redaksi hadits diatas, waktu yang dianjurkan untuk membaca surat al-Kahfi adalah hari jum’at (yaumil jum’ah). namun dalam riyawat yang lain menggunakan redaksi malam jum’at (lailatil jum’ah) sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar. Dengan adanya perbedaan rekadsi ini, al-Hadidz Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh al-Munawi memberikan pernyataan:
(من قرأ سورة الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بينه وبين البيت العتيق) قال الحافظ ابن حجر في أماليه : كذا وقع في روايات يوم الجمعة وفي روايات ليلة الجمعة ويجمع بأن المراد اليوم بليلته والليلة بيومها. فيض القدير - (ج 6 / ص 199)
Artinya: (barang siapa membaca surat al-Kahfi dihari jum’at, maka Alloh menerangi dia dengan cahaya, antara dia dan baitul ‘athiq). Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab al-Amaliy berkata: “dalam beberapa riwayat menggunakan redaksi ‘yaumil jum’ah’ (hari jum’at), sedangkan dalam riwayat yang lain menggunakan redaksi ‘lalatil jum’ah’ (malam jum’at). Kedua redaksi ini bisa dikomporikan, bahwa yang dimaksud ‘hari’ [dalam riwayat satu] mencakup malam. Sedangkan ‘malam’ [dalam riwayat lain] mencakup hari. (Faid al-Qodir: VI, 199)
Sebagaimana dinyatakan oleh Syafi’iy dengan berdasarkan hadits shohih diatas, sunnah hukumnya membaca surat al-Kahfi baik pada hari atau malam jum’at. Namun, tradisi yang berlaku di Indonesia, setiap malam jum’at tiba masjid, musholla dan rumah semarak dengan pembacaan surat Yasin, bukan surat al-Kahfi. Hal inilah yang menjadikan sebagian kelompok menyalahkan atau setidaknya mempertanyakan tradisi yasinan yang sudah berjalan sejak lama di Nusantara.
Untuk memahami apalagi menghukumi sebuah tradisi, kita tidak bisa hanya terpaku pada dalil tekstual yang ada. Namun juga kita juga harus meninjau motiv dan alasan utama mengapa tradisi itu dilakukan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya membaca yasin baik secara bersama maupun sendirain pada waktu malam jum’at tujuan utamanya adalah mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada keluarga yang sudah meninggal dunia. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pembacaan surat al-Fatihah dengan menyebut nama-nama al-marhum dan al-marhumah yang telah wafat sebelumnya. Setelah pembacaan surat Yasin selesai, dilanjutkan dengan doa agar pahala bacaan al-Qur’an yang telah dibaca disampaikan kepada al-marhum dan al-marhumah yang telah disebut sebelumnya.
Kedua premis ini sudah cukup kiranya untuk memperkuat pernyataan diatas bahwa tujuan utama membaca surat Yasin adalah mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada keluarga dan orang-orang yang telah meninggal dunia.
Jika tujuan utama membaca al-Qur’an untuk dikirimkan pahalanya kepada orang yang meninggal, maka surat yang dianjurkan untuk dibaca adalah surat Yasin sebagaimana dinyatakan oleh Rosululloh saw:
وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ - رضي الله عنه - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: - اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس - رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ. بُلُوغُ اَلْمَرَامِ مِنْ أَدِلَّةِ اَلْأَحْكَامِ - (ص 156)
Artinya: Dari Ma'qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda: 'Bacalah surat Yasin untuk orang-orang yang meninggal diantar kalian.' Ibnu Hajar berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa'i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban" (Bulugh al-Marom: 156)
Atas dasar dan kerangka berfikir seperti ini pula, pada saat umat muslim ziarah kemakam, surat yang dibaca adalah surat Yasin, bukan surat al-Waqiah misalnya, walaupun keduanya sama-sama salah satu surat al-Qur’an. Hal yang demikian itu tidak lain karna tujuan utama membaca al-Qur’an pada saat ziarah adalah mengirimkan pahalanya untuk orang yang meninggal.
Sekedar untuk diketahui, dalam menafsiri kata ‘mauta’ (orang-orang yang meninggal) dalam hadits diatas, para ulama terbagi menjadi dua pendapat. Ibnu Hibban menafsirkan dengan ‘orang yang akan meninggal dunia’. Sedangkan imam Jarir al-Thobariy memberikan penafisiran ‘orang yang telah meninggal dunia’. Kedua pendapat ini dikutip oleh al-Syaukaniy dalam Nail al-Author berikut:
قَالَ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ قَوْلُهُ : " اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ " أَرَادَ بِهِ مَنْ حَضَرَتْهُ الْمَنِيَّةُ لَا أَنَّ الْمَيِّتَ يُقْرَأُ عَلَيْهِ ، وَكَذَلِكَ " لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ " . وَرَدَّهُ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ فِي الْقِرَاءَةِ وَسَلَّمَ لَهُ فِي التَّلْقِينِ ا هـ . وَاللَّفْظُ نَصٌّ فِي الْأَمْوَاتِ وَتَنَاوُلُهُ لِلْحَيِّ الْمُحْتَضَرِ مَجَازٌ فَلَا يُصَارُ إلَيْهِ إلَّا لِقَرِينَةٍ . نيل الأوطار - (ج 4 / ص 29)
Artinya: Ibnu Hibban berkata dalam kitab shohihnya [tatkala menafsirkan hadits] “Bacalah surat Yasin untuk orang-orang yang meninggal diantar kalian". Yang dimaksud hadits diatas adalah orang yang akan meningga dunia, bukan orang yang meninggal dibacakan Yasin disampingnya. Begitu pula maksud hadits “tuntunlah orang yang akan meninggal diantar kalian dengan bacaan La Ilaha Illalohu”. Penafsiran Ibnu Hibban mengenai hadits membaca Yasin diatas ditolak oleh al-Thobari. Namun penafsiran hadits talqin, diterima oleh beliau. Lafadz dalam hadis tersebut secara jelas mengarah pada orang yang telah meninggal. Dan lafadz tersebut mencakup pada orang yang akan meninggal hanya secara majaz. Maka tidak bisa diarahkan pada orang yang akan meinggal kecuali bila ada tanda petunjuk" (Nail al-Authar IV/29)
Dengan dianjurkannya membaca surat yasin untuk orang yang meninggal dunia, sudah pasti tidak menafikan kesunnahan apalagi mengharamkan membaca surat al-Qur’an selain surat Yasin. Begitu pula dengan surat al-Kahfi diatas, dengan disunnahkannya membaca surat al-Kahfi pada malam siang dan malam jum’at, tidaklah menafikan apalagi melarang umat muslim membaca selain al-Kahfi, hanya saja kedua surat tersebut lebih dianjurkan untuk dibaca dari pada yang lain.
Dengan membaca Yasin pada malam jum’at, tidaklah menghilangkan kesunnahan membaca surat al-Kahfi maupun bacaan-bacaan lain yang disunnahkan untuk dibaca pada saat malam jum’at tiba. Orang yang membaca yasin dengan tujuan dikirimkan pahalanya untuk orang meninggal dunia tetap disunnahkan untuk membaca surat al-Kahfi, sholawat dan bacaan-bacaan lainnya yang dianjurkan dibaca pada malam jum’at secara khusus.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan; membaca surat al-Kahfi diwaktu malam jum’at hukumnya sunnah sebagaimana yang dinyatakan oleh imam Syafi’iy dengan berdasarkan hadits-hadits shohih diatas. Sehingga apabila ada sebagian umat muslim di Indonesia melakukannya, maka tidak boleh diolok-olok, dibodoh-bodohkan dan dianggap tidak memiliki dalil. Begitu juga sebaliknya, jika sebagian umat muslim lain yang membaca surat yasin pada malam jum’at untuk dikirimkan pahalanya kepada keluarga yang telah meninggal dunia, tidak bisa disalahkan, dibid’ahkan apalagi diharamkan. Sebab, selain memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan, tradisi yasinan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Nusantara telah menjadi tradisi umat muslim sejak dahulu kala dan diperbolehkan oleh ulama untuk dilakukan. hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh imam al-Syaukaniy sebagai berikut:
(الرسائل السلفية للشيخ علي بن محمد الشوكاني ص : 46)
الْعَادَةُ الْجَارِيَةُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِي الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ وَكَذَلِكَ فِي الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ لاَ شَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةُ عَنْ مَعْصِيَةٍ سَالِمَةً مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لأَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَ سِيَّمَا إِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِي حَدِيْثِ اقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ اهـ
Artinya: "Tradisi yang berlaku di sebagian negara [dimana orang-orang] berkumpul di masjid untuk membaca al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam syariah. tidak diragukan lagi, apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan pahala bacaan al-Quran itu untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid atau di rumahnya". (al-Rosail al-Salafiyyah: 46)
Jika kedua belah pihak sama-sama memahami dan menyadari hal ini, maka perdebatan panjang melelahkan yang seringkali menimbulkan perpecahan ditubuh umat muslim dapat dihindarkan. Karna seringkali, dengan dalih mempertahankan keyakinan masing-masing berakhir dengan saling hujat dan menyalahkan tanpa melihat dalil dan argument lawan. Bahkan tidak jarang karna sibuk berdebat, mereka tidak sempat membaca yasin maupun surat al-kahfi yang sunnah dibaca pada malam jum’at. Sungguh sangat miris bukan…???
Refrensi
Al-Asqollaniy, Ibnu Hajar, Bulugh al-Marom. Riyadl: Dar al-Falaq
Al-Hakim, Abu Abdillah, al-Mustadrok ala al-Shohihain. CD: Al-Maktabah al-Syamilah
Al-Munawiy, Abdu al-Rouf, Faid al-Qodir. Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro
Al-Syafi’iy, Abu Abdillah Muhammad bin Idris, al-Umm. Bairut: Dar al-Ma’rifah
Al-Syaukaniy, Muhammad bin Ali, Nail al-Author. Mesir: Dar al-Hadits
------------------ al-Rosail al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khoir al-Bariyyah. Bairut: Dar al-Kitab al-Arobiy
0 Komentar untuk "MENGAPA UMAT MUSLIM DI INDONESIA PADA MALAM JUM’AT MEMBACA SURAT YASIN BUKAN SURAT AL-KAHFI?"