Hadits secara garis besar dibagi menjadi tiga, hadits shohih, hasan dan dloif. Shohih adalah hadits yang memenuhi beberapa kriteria, pertama, matarantai sanadnya bersambung hingga Rosululloh saw. Kedua, muatan haditsnya tidak bertentangan dengan muatan hadits perowi yang lebih tsiqoh. Ketiga, tidak terindikasi cacat (illah), sekalipun secara redaksional shohih. Keempat, disampaikan oleh informan yang adil. Kelima, hadits yang disampaikan telah melalaui verifikasi yang ketat, baik hafalan maupun tulisannya.
Hasan ialah, hadits yang memenuhi standard an kriteria hadits shohih, namun diriwayatkan oleh orang yang secara verifikasi tulisan maupun hafalannya dibawah standar perowi hadits shohih.
Dlo’if adalah: hadits yang tidak memenuhi standard dan kriteria hadits hasan.”
Hadits shohih maupun hadits hasan oleh para ulama, diperkenankan untuk dijadikan landasan hukum yang terkait dengan halal dan haram, maupun fadloil a’mal (keutamaan sebuah perkerjaan), seperti doa berbuka misalnya.
Sedangkan hadits dlo’if tidak diperkenkan untuk dijadikan pijakan penetapan hukum yang terkait halal dan haram, namun diperkenankan dijadikan hujjah perkara-perkara yang termasuk fadloil a’mal (keutamaan sebuah perkerjaan), seperti doa berbuka misalnya.
Kebolehan menggunakan hadits dlo’if sebagai hujjah perkara-perkara yang termasuk fadloil a’mal telah disepakati oleh para ulama baik dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh maupun lainnya. Hal ini dinyatakan oleh imam Nawawiy dalam beberapa karyanya, salah satunya kitab al-Adzkar lin Nawawiy berikut ini:
[ فصل ] : قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم : يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يُعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياطٍ في شيء من ذلك كما إذا وردَ حديثٌ ضعيفٌ بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة فإن المستحبَّ أن يتنزّه عنه ولكن لا يجب. الأذكار للنووي - (ص8 )
Artinya: (pasal): para Ulama dari kalangan ahli hadits dan pakar fiqh dan lainnya menyatakan: “boleh dan Sunnah hukumnya melakukan keutamaan sebuah pekerjaan (fadloil), motivasi melakukan kebaikan dan ancaman melakukan pelanggaran berdasarkan hadits lemah (dloif) selama statusnya bukan palsu. Apabila terkait dengan hukum seperti halal haram, transaksi jual beli, nikah, cerai dan lainnya maka hanya bisa dijadikan pijakan hanyalah hadits shohih dan haslan, kecuali dalam rangka hati-hati. Misalnya, ada sebuah hadits lemah yang menyatakan makruhnya sebagian bentuk jual beli dan pernikahan, maka sebaiknya dihindari namun tidak wajib. (al-Adzkar: 8)
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh imam al-Hatthob al-Ru’ainiy, salah seorang ulama dari madzhab maliki.
( قُلْتُ ) وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا فَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ. مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل - (ج 1 / ص 17)
Artinya: Saya katakan: hadit ini (kullu Amrin Dzi Balin…….) sekalipun setatusnya lemah (dloif) namun para Ulama terlah bersepakat boleh mengamalkannya dalam konteks keutamaan sebuah pekerjaan (fadloil). (Mawahib al-Jalil: I, 17)
Ibnu al-Humam juga memberikan informasi yang sama, bahwa hadits dloif boleh diamalkan dalam konteks keutamaan sebuah pekerjaan. Informasi Ibnu al-Hummam ini direkam dengan baik oleh al-Khodimiy dalam Bariqohnya
وَقِيلَ عَنْ ابْنِ الْهُمَامِ رَحِمَهُ اللَّهُ يَجُوزُ وَيُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ مَا لَمْ يَكُنْ مَوْضُوعًا بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية - (ج 1 / ص 115)
Artinya: Ibnu al-Humam pernah ditanyakan mengenai hadits dloif, beliau menjawab: “boleh dan Sunnah hukumnya melakukan keutamaan sebuah pekerjaan (fadloil), motivasi melakukan kebaikan dan ancaman melakukan pelanggaran berdasarkan hadits lemah (dloif) selama statusnya bukan palsu”. (Bariqoh Mahmudiyyah: I, 115)
Bahkan imam Ahmad juga mengamalkan hadits dloif dalam konteks keutamaan sebuah pekerjaan (fadloil), hal ini sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Muflih, salah seorang ulama dari madzhab Hambali. Dalam al-Adab al-Syar’iyyahnya beliau menyatakan:
فَصْلٌ فِي الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ وَرِوَايَتِهِ وَالتَّسَاهُلِ فِي أَحَادِيثِ الْفَضَائِلِ دُونَ مَا تَثْبُتُ بِهِ الْأَحْكَامُ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْحَاجَةِ إلَى السُّنَّةِ وَكَوْنِهَا ) وَلِأَجْلِ الْآثَارِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْفَصْلِ قَبْلَ هَذَا يَنْبَغِي الْإِشَارَةُ إلَى ذِكْرِ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ ، وَاَلَّذِي قَطَعَ بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ مِمَّنْ صَنَّفَ فِي عُلُومِ الْحَدِيثِ حِكَايَةً عَنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ يُعْمَلُ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِيمَا لَيْسَ فِيهِ تَحْلِيلٌ وَلَا تَحْرِيمٌ كَالْفَضَائِلِ ، وَعَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ مَا يُوَافِقُ هَذَا . الآداب الشرعية - (ج 2 / ص 302)
Artinya: (Pasal tentang mengamalkan, meriwayatkan, tidak terlalu selektif dalam hadits yang berkaitan dnengan keutamaan sebuah pekerjaan (fadloil), bukan hadits yang digunakan untuk menetapkan halal dan haram, dan adanya kebutuhan akan Sunnah dan keberadaannya). Berdasarkan hadits-hadits diatas sebelum pasal bab ini. Selayaknya dijelaskan tentang mengamalkan hadits dloif. Adapun penjelasan yang bukan hanya disebut oleh satu orang saja, yang telah menulis ilmu hadits telah diterangkan bahwa para Ulama memperbolehkan mengamalkan hadits dloif selain konteks halal dan haram, misalnya tentang keutamaan sebuah pekerjaan (fadloil). Pendapat ini selaras dengan pendapat imam Ahmad bin Hambal. (al-Adab al-Syar’iyyah: II, 302)
Sekalipun para Ulama telah sepakat akan diperkenankannya mengamalkan hadits dlo’if, namun bukan berarti boleh secara mutlak. Para ulama telah membuat syarat-syarat khusus agar hadits dlo’if bisa diamalkan, adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
ذكر الحافظ ابن حجر لذلك ثلاث شروط: أحدها أن يكون الضعيف غير شديد فيخرج ما انفرد بحديثه راو من المكذبين، والمتهمين بالكذب ومن فحش غلطه، نقل العلائي الاتفاق عليه. الثاني: أن يكون مندرجا تحت أصل عام فيخرج ما يخترع بحيث لا يكون له أصلا. الثالث: أن لا يعتقد عند العمل به ثبوته لئلا ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم ما لم يقله بل يعتقد الاحتياط. قال: وهذان الأخيران ذكرهما الشيخ عز الدين بن عبد السلام وصاحبه ابن دقيق العيد. تحفة الأبرار بنكت الأذكار للنووي - (ص 26)
Artinya: Al-Hafidz Ibnu Hajar memberikan tiga syarat agar hadits dloif dapat diamalkan; 1. Tidak sangat lemah, maka dikecualikan hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja namun ia sering melakukan kebohongan, di duga melakukan kebohonhan atau salah fatal dalam riwayat hadits. Syarat ini disepakati oleh seluruh Ulama sebagaima yang dikutip oleh al-Ila’iy. 2. Hadits tersebut berada dibawah naungan dalil lain yang sifatnya general. Maka dikecualikan hadits yang dibuat yang tidak memiliki dasar sama sekali. 3. Pada saat mengamalkan tidak menyakini bahwa hadits tersebut benar-benar dari Nabi, agar terhindar dari menisbatkan sebuah hadits yang tidak pernah dikatakn oleh Rosululloh. adapun yang harus diyakini adalah sebagai bentuk kehati-hatian. Dua syarat terakhir ini disebutkan oleh Izzudiin bin Abdis Salam dan Ibnu Daqiq al-id sejawatnya. (Tuhfal al-Abror: 26)
Dengan penjelasan para ulama datas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits dloif bisa diamalkan dalam konteks perkara-perkara yang termasuk fadloil a’mal (keutamaan sebuah perkerjaan), seperti doa berbuka misalnya.
Apabila ada sebagian orang yang menolak hadits dlo’if untuk diamalkan untuk perkara-perkara yang termasuk fadloil a’mal, seperti doa berbuka misalnya, maka perlu kiranya pertanyakan kembali, siapakah gerangan yang dijadikan panutan oleh dia? Para ulama ataukah kebodohannya?
Catatan: penjelasan lebih lengkap masalah ini insyalh akan kami buat dalam bentuk buku
REFRENSI
Al-Khodimiy, Abu Sa’id, Bariqoh Mahmudiyyah. Bairut: Mathba’ah al-Halabiy
Al-Nawawiy, Abu Zakariyya, al-Adzkar. Bairut: Dar al-Fikr
Al-Ru’ainiy, al-Hatthob, Mawahib al-Jalil. Bairut: Dar al-Fikr
Al-Suyuthiy, Jalaluddin, Tuhfal al-Abror. Madinah al-Munawwaroh: Maktabah Dar al-Turots
Ibnu Muflih, Muhammad, al-Adab al-Syar’iyyah. Bairut: Alam al-Kitab
0 Komentar untuk "HUKUM MENGAMALKAN HADITS DLO’IF DIPERBOLEHKAN BERDASARAN IJMA' ULAMA"