Sekilas Tentang Hadits
Salah saatu perkara yang disunnahkan bagi orang yang berpuasa adalah membaca doa berbuka puasa, salah Satu doa berbuka yang yang sudah masyhur dan akrab diteling kita adalah doa sebegai berikut:
Artinya: Ya Alloh, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rizki-Mu aku telah berbuka, dengan rahmatmu, wahai dzat yang maha pengasi.
Namun belakang ini, doa yang sudah masyhur dibaca dan akrab ditelinga kita mulai dipertanyakan eksistensinya, menurut mereka doa ini tidaklah layak untuk dibaca pada saat berbuka, karna hadits yang menerangkan tentang doa tersebut status dlo’if Sehingga tidak bisa diamalkan dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum (hujjah). Benarkan hadits ini berstatus dlo’if dan tidak bisa diamalkan?
Hadits yang menjelaskan doa berbuka dicantumkan oleh banyak ulama hadits dalam karya-karyanya, salah satu imam Abu Dawud. Dalam kitab Sunan dan Marasilnya beliau menuliskan:
Artinya: dari Mu’adz bin Zuhroh, bahwasanya beliau mendapat sebuah hadits yang berbunyi, “Rosululloh saw tatkala berbuka, belia berdoa: اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ (HR. Abu Dawud)
Hadits diatas dicantumkan oleh imam Abu Dawud dalam dua kitabnya, Sunan Abi Dawud dan Marasil Abi Dawud. Status hadits ini dinyatakan oleh al-Mundziri sebagai hadits Mursal, yakni, sebuah hadits yang tidak menyebutkan sahabat dalam mata rantai sanadnya. Dalam kasus hadits diatas, Muadz Abu Zahroh adalah seorang ta’bi’in dan beliau tidak menyebutkan secara spesifik siapa sahabat yang menjadi mediator informasi antara dia dan Rosululloh mengenai hadits ini. Atas dasar inilah al-Mundzri memberikan klaim bahwa hadits tersebut mursal. Dengan terputusnya mata rantai sanad dalam hadits ini, maka hadits ini disebut dengan hadits dl’oif. Yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shohih dan hasan. Sekedar untuk diketahui, salah satu syarat hadits shohih dan hasan adalah bersambungnya mata rantai sanad, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah itthishol al-sanad. Hadits yang mata rantai sanadnya bersambung dikenal dengan istilah muttashil
Sebagaimana yang saya nyatakan diatas, hadits ini dicantumkan oleh imam Abu Dawud dalam dua kitabnya, Sunan Abi Dawud dan Marasil Abi Dawud. Bagi orang yang tidak memiliki pengetahuan mendalam perihal hadits, tindakan Abu Dawud mencantumkannya dalam kitab berbeda tidaklah memiliki arti sama sekali. Namun tidak dengan ahli hadits, tindakan Abu Dawud pastilah ada maskud tertentu sehingga beliau mencantumkannya dalam kitab berbeda. Dinyatakan dalam kitab Faidl al-Qodlir karya al-Munawiy
Artinya: Hadits ini dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Marosil dan Sunannya. (Dari Mu’adz bin Zuhroh), disebut pula Abu Zuhroh al-Dlobbiy, seorang tabi’in. dalam kitab taqrib sebagaimana kitab asalnya dinyatakan, “dia diterima haditsnya, di me-mursal-kan hadits, sehingga memberi kesan bahwa beliau adalah sahabat. Pengarang kitab taqrib berkata: saya mendapat sebuah hadits yang berbunyi……. Ibnu Hajar berkata: “hadits ini disebutkan oleh Abu Dawud dalam Sunan dan Marosilnya dengan redaksi yang sama. Mu’adz dalam hadits ini dinyatakan oleh al-Bukhori sebagai sebagai seorang tabi’in, hanya saja redaksinya Mu’adz Abu Zuhroh. Pernyataan al-Bukhori ini, kemudian diikuti oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam kitab Tsiqotnya. Al-Syiroziy menilai Mu’adz bin Zuhroh sebagai seorang sahabat, namun penilaian beliau ini disalahkan oleh al-Mustaghfiriy. Mungkin saja hadits ini berstatus ‘maushul’, sekalipun Mu’adz adalah seorang tabi’in, sebab besar kemungkinan orang yang memberikan informasi kepada beliau adalah seorang sahabat. Berdasarkan pertimbangan ini, Abu Dawud mencantumkannya dalam kitab Sunan, berdasarkan pertimbangan lain, beliau mencantumkannya dalam kitab Marosil. (Faid al-Qodir: V, 107)
Alasan utama Abu Dawud memasukkan hadits ini dalam Sunannya sekalipun Mu’adz Ibnu Zuhroh seorang tabi’in, sebab besar kemungkinan Mu’adz mendapatkan hadits ini dari seorang sahabat. Hal ini, sesuai dengan redaksi yang beliau sampaikan “saya mendapatkan sebuah hadits”. Disisi lain orang yang memberikan informasi kepada Mu’adz mungkin saja bukan seorang sahabat, dengan demikian hadits ini masuk katagori hadits ‘mursal’, sehingga Abu Dawud memasukkannya kedalam kitab Marosil yang merupakan kitab kumpulan hadits-hadits mursal.
Apakah Bisa di Amalkan
Beberapa orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan (utamanya dalam bidang hadits) beranggapan bahwa hadits ini tidak layak untuk diamalkan karna statusnya ‘mursal’ yang menjadikan dlo’ifnya hadits ini. Mereka melakukan semua itu karna taklid membabi buta kepada orang yang dianggap panutan oleh mereka. Mereka lebih suka berselancar di dunia maya dalam mencari ilmu dari pada berhadapan langsung kepada ulama yang mempuni. Mereka lebih senang belajar kepada Syaikh Google al-Youtubiy dibangdingkan dengan belajar langsung kepada ulama ahli hadits itu sendiri.
Sebagaimana yang saya jelaskan ditas, imam al-Mundziri memberi penilai ‘mursal’ terhadap hadits ini, sehingga menjadikan hadits ini berstatus dlo’if. Kendatipun hadits berstatus dlo’if, namun kita tidak bisa serta-merta menyatakan hadits ini dlo’if selamanya sehingga tidak boleh diamalkan, sebab hadits ini memiliki penguat yang menjadikan hadits ini naik peringkat menjadi hadis ‘hasan lighoirih’.
Dinyatakan dalam kitab Mir’ah al-Mafatih, karya Hisam al-Din al-Rohmaniy
Artinya: hadits Ibnu Abbas dicantumkan juga oleh Ibnu Sunniy. Dalam bab ini, terdapat pula hadits Ibnu Abbas yang dicantumkan oleh al-Thobroniy dalam kitab al-Ausath, namun statusnya juga dlo’if. Sehingga dengan demikian, hadits Anas dan Ibnu Abbas menjadi ‘syahid’ yang memperkuat hadits Mu’adz. (Mir’ah al-Mafatih: VI, 476)
Dua hadits yang dimaksud Hisamuddin al-Rohamiy, yang memperkuat hadits Mu’adz sehingga menjadikannya ‘Hasan li Ghorih’ adalah:
Artinya: dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rosululloh saw tatkala berbuka berdoa dengan :
لَكَ صُمْتُ , وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. (HR. Thobriniy)
Artinya: dari Anas bin Malik, dia berkata: nabi Muhammad saw tatkala berbuka berdoa dengan:
بسم الله ، اللهم لك صمت ، وعلى رزقك أفطرت (HR. Thobriniy)
Dengan adanya dua hadits ini, (sekalipun statusnya dlo’if), maka hadits Mu’adz menduduki posisi hadits ‘hasan lighoirih’ yang layak untuk diamalkan dan bisa dijadikan hujjah. Hal ini dinyatakan oleh ahli Hadits imam al-Sakhowiy dan al-Nawawiy sebagai berikut:
Artinya: hadits ‘hasan li ghoirih’ bisa diamalkan dan dijadikan hujjah, dan memang kenyataannya demikian, dengan catatan memiliki banyak jalur. Oleh karnaya, imam Nawawi memberikan komentar pada sebagaian hadits, “hadits ini, sekalipun sanad dari masing-masing hadits lemah, namun digabungkan secara keseluruhan akan menjadikan yang satu memperkuat yang lain dan menjadikannya sebagai hadits hasan dan bisa dijadikan hujjah. Penjelasan tentang penguatan sebuah hadits karna banyaknya hadits dloif disebutkan terlebih dahulu oleh imam al-Baihaqiy. (Fath al-Mughits: I, 94)
Disisi lain, hadits yang menjelaskan tentang ‘doa berbuka’ masuk dalam katagoriy fadloil a’mal (keutamaan sebuah pekerjaan), sehingga diperbolehkan untuk diamalkan sekalipun hadits yang menjelasankannya berstatus dlo’if. (Penjelasan lengkap bisa diakses disini)
Ahli hadits Ibnu Hajar, sebagaimana dikuti oleh al-Harowiy memberikan pernyataan:
Artinya: Ibnu Hajar berkata: hadits ini (hadits tentang doa berbuka) sekalipun statusnya mursal, namun bisa dijadikan hujjah dalam masalah-masalah seperti ini. Disisi lain al-Daruqhuthniy dan al-Thobroniy meriyawatkan dengan sanad yang muttashil, akan tetapi statusnya dloif. Keduanyapun juga bisa di jadikan hujjah. Ibnu Majar meriwayatkan sebuah hadits, “orang yang sedang berpuasa memiliki doa yang tidak ditolak”. Disebutkan pula bahwa Rosululloh saw berdoa:
يَا وَاسِعَ الْفَضْلِ اِغْفِرْ لِي dan juga berdoa اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ
Dengan penjelasan para ulama Alhi Hadits diatas, maka pernyataan sebagaian orang –awam- yang menyatakan hadits tentang bebuka ‘tidak bisa diamalkan’ perlu kiranya untuk kita pertanyakan kembali keilmuannya. Manakah yang akan anda pilih, ulama ahli hadist yang telah diakui keilmuannya oleh orang seluruh dunia, ataukah orang –awam- yang baru belajar hadits?
Semoga anda tidak salah memilih
REFRENSI
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud. Bairut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah
Al-Harowiy, Ali bin Muhammad, Mirqoh al-Mafatih. Bairut: Dar al-Fikr
Al-Munawiy, Zainuddin Muhammad, Faid al-Qodir. Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro
Al-Sakhowiy, Syamsuddin, Fath al-Mughits. Mesir: Maktabah al-Sunnah
Al-Thobroniy, Sulaiman bin Ahmad. Al-Mu’jam al-Kabir. Kairo: Maktabah Ibnu Taymiyyah
Al-Thobroniy, Sulaiman bin Ahmad. Al-Mu’jam al-Ausath. Kairo: Dar al-Haromain.
Hisamuddin, Abu al-Hasan Ubaidillah, Mir’ah al-Mafatih. India: Idaroh al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Da’wah wa al-Ifta’
0 Komentar untuk "MELURUSKAN ANGGAPAN DOA BERBUKA DLO’IF DAN TIDAK BISA DIAMALKAN"