Sebagaimana
yang kita ketahui bersama, sholat dapat dikejakan dengan dua cara, berjemaah
dan munfarid (sendirian). berjemaah berasal dari bahasa Arab yang
artinya berkumpul atau berkelompok. Sholat berjemaah minimal terdiri dari dua
orang, yakni imam dan makmum. Sedangkan jumlah maksimalnya tidaklah terbatas.
Keabsahan
sholat berjemaah menuntuk terpenuhinya beberapa syarat tambahan. Pertama,
makmum wajib niat menajdi makmum atau berjemaah dengan imam pada saat takbiratul
ihrom. Kedua, posisi makmun tidak boleh berada didepan imam. Ketiga,
makmum mengetahui perpindahan imam dari satu rukun ke rukun yang lain. Keempat,
imam dan makmum berada di satu tempat. Kelima, makmum harus mengikuti
sunnah-sunnah yang dilakukan imam yang dinilai buruk tatkala tidak diikuti. Keenam,
makmun tidak tertinggal dua rukun fi’liy (rukun sholat yang dilakukan
anggota tubuh) tanpa udzur dengan catatan dilakukan dengan sengajar dan
mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan sholat. Ketujuh, makmun tidak
mengetahui atau meyakini sholatnya imam batal. Kedelapan, tidak
bermakmum kepada makmum yang lain. Kesembilan, orang yang mampu membaca
Fatihah tidak diperbolehkan bermakmum pada orang yang tidak bisa membaca
Fatihah. Kesepuluh, laki-laki tidak diperbolehkan bermakmum kepada
perempuan. Kesebelas, tidak bermakmum kepada orang yang wajib mengulangi
sholatnya. Kedua belas, susunan rukun sholat imam dan makmum sama. (Nihayah
al-Zain: 124-129)
Berdasarkan
syarat terakhir, menurut madzhab Syafi’iy, makmum yang mengerjakan sholat
Dzuhur diperbolehkan mengikuti imam yang sedang mengerjaka sholat Ashar,
Maghrib, Isya’ dan Subuh. Begitu pula diperkenankan seseorang yang sholat
sunnah menjadi makmum orang yang tengah menunaikan sholat fardlu. Sah pula,
seseorang yang sholat fardlu menjadi makmum orang yang tengah menunaikan sholat
sunnah, meskipun hukumnya makruh. disebutkan dalam Mughniy al-Muhtaj
karya imam Khotib al-Syirbiniy
( وَتَصِحُّ قُدْوَةُ الْمُؤَدِّي
بِالْقَاضِي وَالْمُفْتَرِضِ بِالْمُتَنَفِّلِ وَفِي الظُّهْرِ بِالْعَصْرِ
وَبِالْعُكُوسِ ) أَيْ الْقَاضِي بِالْمُؤَدِّي وَالْمُتَنَفِّلِ بِالْمُفْتَرِضِ
وَفِي الْعَصْرِ بِالظُّهْرِ إذْ لَا يَتَغَيَّرُ نَظْمُ الصَّلَاةِ بِاخْتِلَافِ
النِّيَّةِ ، وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ عَلَى
اقْتِدَاءِ الْمُفْتَرِضِ بِالْمُتَنَفِّلِ بِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ { أَنَّ
مُعَاذًا كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِشَاءَ الْآخِرَةِ ثُمَّ يَرْجِعُ إلَى قَوْمِهِ فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ
الصَّلَاةَ } وَفِي رِوَايَةٍ لِلشَّافِعِيِّ هِيَ لَهُ تَطَوُّعٌ وَلَهُمْ
مَكْتُوبَةٌ ، وَمَعَ صِحَّةِ ذَلِكَ يُسَنُّ تَرْكُهُ خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ. مغني
المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج - (ج 1
/ ص 502)
Artinya: (Sah hukumnya, orang yang sholat yang tepat waktu bermakmum pada orang yang sholat qodlo’, orang yang sholat fardlu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah, dan sah pula orang yang sholat Dzuhur bermakmum kepada orang yang sholat Ashar, begitu pula sebaliknya) yakni, orang yang sholat qodlo’ bermakmum pada orang yang sholat yang tepat waktu, orang yang sholat sunnah bermakmum kepada orang yang sholat fardlu, begitu pula orang yang sholat Ashar bermakmum kepada orang yang sholat Dzuhur, sebab susunan sholat tidak tidak berubah karna perbedaan niat. Imam al-Syafi’iy memberikan dalil mengenai keabsahan orang yang sholat fardlu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah berdasarkan HR. Bukhori dan Muslim “pernah suatu ketika, Muadz bin Jabal sholat isya bersama Nabi, kemudian dia pulang ke kaumnya dan dia melakukan sholat Isya’ bersama kaumnya dengan bertindak sebagai imam”. Dalam riwayat Syafi’iy yang lain, “sholat Isya’ tersebut sunnah bagi Mu’adz dan wajib bagi kaumnya”. Kendatipun yang demikian ini sah, sunnah hukumnya untuk tidak dilakukan untuk menhindari perbedaan pendapat. (Mughniy al-Muhtaj: I, 502)
Berangkat dari itu, sah-sah saja orang yang mengerjakan sholat Isya’ bermakmum kepada imam yang tengah melaksanakan sholat tarawih. Meskipun sah, sebaiknya dihindari, sebab hukumnya makruh. definisi makruh adalah: “ma yutsab ‘la tarkih wa la yu’ab ‘ala tarkih”, perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan jika dikerjakan tidak mendapat dosa. Kebiasaan menerjang perbuatan yang makruh lama-lama mebuat orang memiliki keberanian menerjang perbuatan haram. Sebagaimana menganggap sepele perkara sunnah dapat mendorong orang berani mengabaikan perkara wajib.
Selain itu, menurut madzhab Malikiy dan Hanbali tidak sah orang yang sholat fardlu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah. Dalam kaidah fiqh disebutkan: “al-khuruj min al-khilaf mustahab”, menghindari perbedaan pendapat hukumnya sunnah. cara menghidari perbedaan dalam kasus diatas orang yang sholat fardlu tidak bermakmum kepada orang yang sholat sunnah. (al-Fiqh al-Ismalim wa Adillatuhu: II, 1201). Sehingga dianjurkan untuk datang ke masjid atau musholla sebelum adzan sholat Isya’ dikumandangkan, dengan demikian ia bisa berjemaah sholat Isya’ dengan imam yang melaksanakan sholat Isya’ juga.
Berangkat dari itu, sah-sah saja orang yang mengerjakan sholat Isya’ bermakmum kepada imam yang tengah melaksanakan sholat tarawih. Meskipun sah, sebaiknya dihindari, sebab hukumnya makruh. definisi makruh adalah: “ma yutsab ‘la tarkih wa la yu’ab ‘ala tarkih”, perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan jika dikerjakan tidak mendapat dosa. Kebiasaan menerjang perbuatan yang makruh lama-lama mebuat orang memiliki keberanian menerjang perbuatan haram. Sebagaimana menganggap sepele perkara sunnah dapat mendorong orang berani mengabaikan perkara wajib.
Selain itu, menurut madzhab Malikiy dan Hanbali tidak sah orang yang sholat fardlu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah. Dalam kaidah fiqh disebutkan: “al-khuruj min al-khilaf mustahab”, menghindari perbedaan pendapat hukumnya sunnah. cara menghidari perbedaan dalam kasus diatas orang yang sholat fardlu tidak bermakmum kepada orang yang sholat sunnah. (al-Fiqh al-Ismalim wa Adillatuhu: II, 1201). Sehingga dianjurkan untuk datang ke masjid atau musholla sebelum adzan sholat Isya’ dikumandangkan, dengan demikian ia bisa berjemaah sholat Isya’ dengan imam yang melaksanakan sholat Isya’ juga.
Referensi:
Nawawiy, Muhammad bin Umar, Nihayah al-Zain. Bairut: Dar al-Fikr
Al-Syirbiniy, Ahmad al-Khotib, Mughniy al-Muhtaj. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Al-Zuhailiy, Wahbah bin Musthofa, al-Fiqh al-Ismalim wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr
Al-Suyuthiy, Jalaluddin, al-Asybah wa al-Nadzoir. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

0 Komentar untuk "Makmum Sholat Isya’, Imam Sholat Tarawih"