HTI DALAM GUGATAN


MUNGKINKAH UMAT MUSLIM AKAN DIPIMPIN OLEH SEORANG KHALIFAH?
Analisis Kritis Terhadap Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir)

Senin 08 Mei 2017, masyarakat Indonesia digemparkan dengan berita pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Mentri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto.sesaat setelah itu, komentar-komentarpun mulai bermunculan, ada yang kontra, dengan alasan pembubaran itu bertentangan dengan asas demokrasi. dan ada pula yang pro, dengan argument ormas HTI dapat mengganggu stabilitas Negara dan berpotensi memporak porandakan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra yang sedang berkecamuk, melalui tulisan ini saya akan mencoba menganalisa dan mengkritisi pandangangan pendiri HT, Taqiyuddin al-Nabhaniy dan para pengikutnya setianya di Negara ini, yang slalu mengorasikan ‘memperjuangkan kebangkitan umat Islam di dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalaui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah (sistem negara islam yang dipimpin oleh satu orang)’

Sekilas Tentang Hizbut Tahrir dan Pendirinya
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, (pendiri Hizbut Tahrir) dilahirkan didesa Ijzim, Haifa, Palestina, tahun 1909. Beliau menamatkan pendidikan dasarnya didaerah kelahirannya, setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan studinya ke al-Azhar dan Darul Ulum Mesir. Pada tahun 1953 Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani mendirikan sebuah partai politik yang dinamai dengan Hizbut Tahrir. Gerakan ini menitikberatkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah.

Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan).

Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.

Misi Hizbut Tahrir
Salah satu ajaran yang sangat ditekankan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memperjuangkan kebangkitan umat Islam di dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalaui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah. Argumentasi legalistik yang dijadikan dasar oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah hadist Hudzaifah yang berbunyi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِىُّ حَدَّثَنِى دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِىُّ حَدَّثَنِى حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُوداً فِى الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلاً يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأُمَرَاءِ. فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ. فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكاً جَبْرِيَّةً فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ ».ثُمَّ سَكَتَ 
Artinya: dari Nu’man bin Basyir, Ketika kami sedang duduk di masjid bersama Rosululloh saw, -Basyir adalah orang yang tidak meyebarkan hadits ini- Abu Tsa’labah al-Khusyaniy datang. Dia berkata: “wahai Basyir bin Sa’ad, apakah anda hafal hadits Rosululloh tentang kepemimpinan? Hudzaifah berkata: “saya hafal khutbah baginda”. Abu Tsa’labah kemudian duduk, lalu Hudzaifah berkata: Sesungguhnya Nabi bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit (otoriter) dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang diktator dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian, lalu nabi Muhammad diam” (HR. Ahmad)

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hadits Hudzaifah di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada lima fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh nabi Muhammad. Kedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat, fase kerajaan yang otoriter dan diktator. Kelima, fase Khilafah Al-Nubuwwah yang sedang dinanti-nantikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berasumsi bahwa Khilafah Al-Nubuwwah pada fase ke-5 tersebut belum terjadi, sehingga harus ditegakkan dan masih harus diperjuangkan. Oleh karnaya beliau dalam karyanya seringkali menyerukan untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah sebagaimana dahulu kala.

Pandangan Taqiyuddin an-Nabhani ini, kemudian di ikuti dan diamini begitu saja oleh para penganutnya (HTI dalam konteks Indonesia) tanpa melakukan koreksi ulang dan menelaahnya kembali. Entah apa yang melatar belakangi mereka untuk tidak melakukan koreksi ulang dan menelaahnya kembali dengan kajian yang lebih mendalam, bukankah mayoritas pengikut HTI adalah para pelajar dan mahasiswa yang dikenal dengan kaum intelektual.

Kesalahan Taqiyuddin an-Nabhani
Dalam memperjuangkan ideologi ‘menegakkan kembali Khilafah Islamiyah’, setidaknya ada dua kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh syaikh Taqiyuddin an-Nabhani:

1. Kesalahan Teoritis
Secara teoritis asumsi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tentang hadist Hudzaifah yang dijadikan argumentasi legalistik mengenai Khilafah Nubuwwah tidaklah benar. Hal ini dikarenakan beberapa aspek. Pertama: beliau menafsirkan hadits tanpa merujuk terhadap penafsiran Ulama Ahli Hadits yang otoritatif (mu’tabar), padahal beliau belum memiliki kapasitas untuk menafsirkan hadits. Kedua, dalam semua jalur riwayat hadits tersebut dikemukakan bahwa Habib bin Salim, salah satu perawi hadits di atas, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘bisyarah Khilafah Al-Nubuwwah’ pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz sebagaimana termaktub dalam Musnah Ahmad

قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِى صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهِذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّى أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِى عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِى عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ

Artinya: ketika Umar bin Abdul Aziz berdiri, dan Yazid bin Nu’man bin Basyir (putra sahabat Nu’man bin Basyir yang meriwayatkan hadits Ahmad diatas) menyertainya, maka aku menuliskan hadits ini (hadits Hudzaifah). Aku mengingatkan tetang kadungan hadits tersebut. Aku berkata: saya berharap amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz termasuk penguasa setelah penguasa yang otoriter dan dictator. Akupun menyelipkan suratku untuk Umar bin Abdul Aziz, beliaupun merasa senang dan terkesan dengan isinya. 

Penafsiran Habib bin Salim ini diakui oleh para ulama‘ perawi hadits. Bahkan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) dalam karya monumentalnya, ‘Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, 527’ memberikan paparan yang sama dengan para ulama ahli hadits bahwa yang dimaksud dengan khilafah al-nubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.

Dalam konteks ini, ahli hadits Ibnu Rajab al-Hambali secara tegas menyatakan:

فنصَّ - صلى الله عليه وسلم - في آخر عمره على من يُقتدى به مِنْ بعده ، والخُلفاء الراشدون الذين أمر بالاقتداء بهم هم : أبو بكر وعمرُ وعثمانُ وعليٌّ ، فإنَّ في حديث سفينة ، عن النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - : (( الخلافةُ بعدي ثلاثونَ سنة، ثم تكونُ ملكاً )) ، وقد صححه الإمام أحمد ،واحتجَّ به على خلافة الأئمة الأربعةونصَّ كثيرٌ من الأئمَّة على أنَّ عمر بنَ عبد العزيز خليفةٌ راشد أيضاً ، ويدلُّ عليه ما خرَّجه الإمام أحمد من حديث حُذيفة ، عن النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - ، قال : (( تكونُ فيكم النبوَّةُ ما شاء الله أنْ تكون ، ثم يرفعها الله إذا شاء أنْ يرفعها ، ثم تكون خلافةٌ على منهاج النبوَّة ، فتكونُ ما شاءَ الله أنْ تكونَ ، ثم يرفعُها الله إذا شاء أنْ يرفعها ، ثمَّ تكونُ مُلكاً عاضَّاً ما شاء الله أنْ تكون ، ثم يرفعها إذا شاء أنْ يرفعها ، ثم تكونُ مُلكاً جبرية ، فتكون ما شاء الله أنْ تكون ، ثم يرفعها إذا شاء أنْ يرفعها ، ثم تكون خلافةً على منهاج النبوَّة )) ثُمَّ سكت . فلما ولي عمر بن عبد العزيز ، دخل عليه رجلٌ ، فحدَّثه بهذا الحديث ، فسُرَّ به ، وأعجبه . جامع العلوم والحكم محقق - (ج 2 / ص 123)

Artinya: Rosululloh pada penghujung usianya secara eksplisit telah menjelaskan orang-orang yang dapat diikuti setelah beliau. Adapun Khulafa’ur Rasyidin yang Nabi perintahkan untuk mengikuti mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, karena dalam hadits Safiinah dari Nabi: “Khilafah sesudahku selama 30 tahun, kemudian kerajaan“ . Imam Ahmad bin Hambal telah mensahihkan hadits tersebut dan menjadikannya sebagai hujjah atas kekhalifahan  para imam yang empat. Banyak para Imam yang memastikan bahwa Umar bin Abdul Aziz juga seorang khalifah yang rasyid (memperoleh petunjuk), hal tersebut ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadisnya Hudzaifah, dari Nabi saw bersabda: “Kenabian akan ada ditengah-tengah kamu selama Allah menghendaki kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai denganjalan kenabian. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam: II, 123)

2. Kesalahan Faktual
Untuk memahami ajaran agama islam, utamanya yang berkaitan dengan masalah politik, seseorang tidak hanya dituntut untuk memiliki pemahaman yang mendalam mengenai ajaran tersebut, namun diharuskan pula untuk keluar dari tempurungnya untuk melihat dengan jelas realitas kehidupan yang ada.

Diakui atau tidak, kita selaku umat Islam kesulitan atau bahkan tidak mampu mengangkat pemimpim tunggal (Khilafah Islamiyyah) sebagaimana yang dicita-citakan Taqiyuddin al-Nabhaniy, sebab realitas politik tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Kalau kita telisik dari sisi sejarah, konsep khilafah pada lalu terbentuk sebelum terbentuknya negara-negara yang berdaulat seperti dewasa ini. pada saat didunia sudah terbentuk negara-negara yang berdaulat, maka keinginan untuk menjadikan umat Islam dipimpin oleh pemimpin tunggal adalah hal yang tidak rasional dan tidak realistis

Ketika realitas politik tidak memungkinkan dan umat Islam terpecah-pecah menjadi banyak negara yang berdaulat seperti dewasa ini, maka umat Islam tidak memiliki kewajiban untuk memperjuangkan khilafah (kepemimpinan tunggal).

Dalam konteks ini, ahli hadits Abu Amr ad-Dani al-Maliki al-Asy’ariy berkata: “mengangkat seorang imam ketika mampu dan memungkinkan hukumnya wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi dari Umat, bukan berdasarkan nash dari Rasulullah.“ (Al-Risalah al-Wafiyah:130)

Ketika umat Islam tidak mampu lagi mengangkat seorang pemimpin tunggal karena struktur sosial dan iklim politik yang telah berubah sebagaimana yang terjadi pada zaman sekarang, maka para ulama membenarkan terjadinya banyak pemimpin politik di setiap daerah yang memungkinkan.

Dalam konteks ini, imam al-Haramain al-Juwainiy berkata: “Sebagian Ulama‘ berkata: “Apabila suatu masa mengalami kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap desa mengangkat diantara orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran, seseorang yang dapat mereke patuhi perintahnya dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka tidak melaksanakan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi persoalan penting dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang sudah terjadi.“ (Ghiyats al-Umam fi Iltiyas al-Dzulam: 386-387)

Alasan lainnya, pemeluk agama Islam pada masa sekarang sudah menyebar keseluruh penjuru dunia, dan jarak antara negara satu dengan nagara lain saling berjauhan. Pada saat pemimpin tunggal benar-benar diangkat misalnya, dan sebagai konsekwensinya, wajib bagi seluruh umat muslim didunia untuk menta’atinya dan itu Sangat Tidak Logis. Sebab besar kemungkinan orang yang berada di daerah yang jauh dari tempat di mana seorang pemimpin tunggal bertahta tidak mengetahui apa yang telah diperintahkan dan apa yang dilarangnya, bahkan mungkin saja, umat muslim yang jauh secara geografis  tidak tahu siapa pemimpin tunggal (kholifah) mereka apalagi mengikuti perintahnya.

Kalau dalam kondisi yang tidak serba tidak mungkin umat muslim masih diwajibkan untuk taat terhadap pemimpin tunggal sebagai konsekwensi dari khilafaf islamiyyah, maka masuk dalam  katagori taklif ma lam yuthoq (membebankan hukum yang tidak mampu dilakukan) dan itu sangat mustahil. (al-Sailul Jaror: 941)

Daftar kesalahan demi kesalahan yang dilakukan oleh Taqiyuddin al-Nabhaniy, diperparah oleh para pengikutnya yang ada di Indonesia. Mereka menyerukan, menyebarkan, mempropagandakan khilafah islamiyyah di Negara ini, entah apa yang ada dalam ‘otak’ mereka. Padahal andaikan mereka konsisten untuk medirikan khilafah islamiyyah, seharusnya mereka segera angkat kaki dari Negara ini dan berpindah menetap kota Madinah, sebab khilafah islamiyah yang sesungguhnya hanya akan bisa ditegakkan disana, bukan di Indonesia. 

Dalam sebuah hadits shohih, Rosululloh pernah bersabda:

الخلافة بالمدينة والملك بالشام

Artinya: Khilafah berada di Madinah, sedangkan kerajaan berada di Syam (HR. Hakim)

Ahli hadits Nuruddin al-Harowiy memberikan penjelasan mengenai hadits diatas:

ففيه تنبيه على أن الخلافة الحقيقية ما توجد في مكان صاحب النبوة على اتفاق جمهور الصحابة من أهل الحل والعقد وأنه لا عبرة في الحقيقة بأهل الحل والعقد في غير ذلك المكان ومن أمثال غير ذلك الزمان وإنما ينعقد بطريق التسلط التي تسمى ملكا للضرورة الداعية إلى نظام حال العامة ولئلا يؤدي إلى الفتنة الطامة والله تعالى أعلممرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح - (ج 15 / ص 357)

Artinya: hadits ini memberikan peringatan bahwa khilafah yang hakiki hanya ada di tempat kenabian (Madinah) berdasarkan consensus mayoritas sahabat Nabi yang merupakan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi (orang orang yang memiliki kwalifikasi dan kapasitas untuk mengangkat kholifah). Dan tidaklah dinilai dan diperhitungkan secara hakiki, jika Ahlu al-Halli wa al-Aqdi mengangkat kholifah yang tidak berasal dari tempat tersebut, atau dari tempat yang sama namun tidak dalam priode itu (priode sahabat). Keputusan dari Ahlu al-Halli wa al-Aqdi berlaku hanya karna ada otoritas kekuasaan yang disebut dengan pemerintahan, karna adanya kebutuhan mendesak untuk mengantur dan mengendalikan situasi dan kondisi masyarakat secara umum, disamping itu agar tidak terjadi fitnah yang melanda. (Mirqoh al-Mafatih: VIII, 3390)

Untuk menutup tulisan saya, akan kami kutipkan pernyataan imam al-Syaukani 

فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار ومن أنكر هذا فهو مباهت لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعقلها . السيل الجرار - (941)

Artinya: Pahamilah hal ini (ketidak wajiban mengangkat pemimpin tunggal), karena inilah yang lebih relevan dengan kaidah-kaidah syariat dan cocok dengan argumentasi legal-formal (al-adillah). Tinggalkanlah statemen-statemen yang dilontarkan oleh orang-orang yang isinya kontardaiktif dengan apa yang aku katakan, karena perbedaan kekuasaan pada masa awal-awal Islam dengan zaman sekaranglebih terang dari matahari di waktu siang. Orang yang mengingkari hal ini adalah para pembohong, tidak perlu mematahkan argumentasi yang dipaparkan mereka,karena mereka tidak punya otak. (al-Sail al-Jaror:941)



Refrensi
al-Dani, Abu Amr,Ar-Risalah al-Wafiyah. Riyadl: Dar Ibn al-Jauziy
Al-Hakim, Abu Abdillah, al-Mustadrok ‘ala al-Shohihaini.Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 
Al-Harowiy, Nur al-Din, Mirqoh al-Mafatih.Bairut: Dar al-Fikri
Al-Syaukaniy, Muhammad bin Ali, al-Sail al-Jaror. Bairut: Dar Ibnu Hazm
Ibnu Hanbal, Ahmad bin Muhammad, Musnad Ahmad. Bairut: Muassasah al-Risalah
Ibnu Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "HTI DALAM GUGATAN"

 
Copyright © 2015 Rihlatuna - All Rights Reserved
Editor By Hudas
Back To Top